Bebek Peking, telur bebek asin, dan sop bebek merupakan menu favorit di China. Namun, pada musim semi lalu, para peternak di China mendapati bahwa unggas peliharaannya itu memproduksi telur dalam jumlah yang jauh lebih rendah dari normal.
Di sejumlah peternakan, produksi telur anjlok hingga 90 persen. Cara berjalan dan koordinasi tubuh mereka menjadi aneh, selera makan juga menurun. Sejumlah bebek kemudian mati dalam hitungan hari.
Tak lama kemudian, dilaporkan, sekitar 4,4 juta ekor bebek di provinsi Fujian, Shandong, dan Zhejiang, kawasan yang menjadi pusat peternakan bebek di China mengalami penyakit misterius tersebut. Penyakit kemudian melanda setidaknya 6 provinsi lain dan kawasan terpencil di sekitar Beijing.
Meluasnya wabah penyakit misterius itu memicu George Gao dan rekan-rekannya, peneliti mikrobiologi dari Chinese Academy of Sciences di Beijing untuk bertindak. Mereka menganalisa hewan yang terkena penyakit.
Akhirnya, para peneliti berhasil mengisolasi flavavirus agresif varian baru. Virus itu serupa dengan penyebab demam kuning dan dengue. Namun, ini untuk pertamakalinya virus tersebut ditemukan pada bebek. Temuan virus yang diberi nama virus BYD tersebut sontak memunculkan kekhawatiran.
Alasannya, selain berpotensi menghancurkan peternakan bebek di China, di mana ekonomi sangat bergantung padanya, flavivirus juga membahayakan manusia.
“Sebagian besar flavivirus merupakan zoonotic. Artinya, mereka bisa ditularkan antara hewan dan manusia,” kata Gao, seperti dikutip dari Sciencemag, 1 April 2011. “Dengan demikian, infeksi pada manusia bisa terjadi,” ucapnya.
Virus BYD, menurut Gao, sangat erat dengan virus Tembusu, varian flavivirus yang ditemukan di Asia Tenggara. Sama seperti virus itu, peneliti memperkirakan, penyebaran BYD bisa dilakukan oleh nyamuk.
Namun demikian, perkiraan penyebaran virus lewat nyamuk ini tidak serta-merta disepakati oleh peneliti lain. “Transmisi lewat nyamuk jangan dulu dijadikan sebuah kesimpulan,” kata Ernest Gould, virologist dari Universite de la Mediterranee di Marseille, Perancis.
Gould menyebutkan, perubahan temperatur pada periode penyebaran virus itu tidak konsisten dengan flavavirus lain yang disebarkan oleh nyamuk.
Sebagai informasi, virus BYD yang menjangkiti bebek di China terjadi di awal musim semi, saat udara masih dingin. Ketika itu, populasi nyamuk umumnya masih rendah dan puncaknya berlanjut selama musim semi tersebut.
“Masih perlu dilakukan penelitian epidemiologi yang lebih detail untuk menyimpulkan hal itu,” kata Gould. “Namun demikian, temuan itu merupakan peringatan penting, termasuk bagi penduduk kawasan lain di luar China. Penyebaran flavivirus baru China ini bisa menjadi masalah global,” ucapnya.
Tersebarnya peternakan bebek di China juga membuat Gao dan rekan-rekannya menegaskan bahwa penyakit ini harus dimonitor secara ketat. Apalagi virus itu bisa menyebar ke manusia. “Langkah berikutnya adalah mengembangkan vaksin untuk mengatasi virus BYD ini,” ucap Gao. (SJ)
Di sejumlah peternakan, produksi telur anjlok hingga 90 persen. Cara berjalan dan koordinasi tubuh mereka menjadi aneh, selera makan juga menurun. Sejumlah bebek kemudian mati dalam hitungan hari.
Tak lama kemudian, dilaporkan, sekitar 4,4 juta ekor bebek di provinsi Fujian, Shandong, dan Zhejiang, kawasan yang menjadi pusat peternakan bebek di China mengalami penyakit misterius tersebut. Penyakit kemudian melanda setidaknya 6 provinsi lain dan kawasan terpencil di sekitar Beijing.
Meluasnya wabah penyakit misterius itu memicu George Gao dan rekan-rekannya, peneliti mikrobiologi dari Chinese Academy of Sciences di Beijing untuk bertindak. Mereka menganalisa hewan yang terkena penyakit.
Akhirnya, para peneliti berhasil mengisolasi flavavirus agresif varian baru. Virus itu serupa dengan penyebab demam kuning dan dengue. Namun, ini untuk pertamakalinya virus tersebut ditemukan pada bebek. Temuan virus yang diberi nama virus BYD tersebut sontak memunculkan kekhawatiran.
Alasannya, selain berpotensi menghancurkan peternakan bebek di China, di mana ekonomi sangat bergantung padanya, flavivirus juga membahayakan manusia.
“Sebagian besar flavivirus merupakan zoonotic. Artinya, mereka bisa ditularkan antara hewan dan manusia,” kata Gao, seperti dikutip dari Sciencemag, 1 April 2011. “Dengan demikian, infeksi pada manusia bisa terjadi,” ucapnya.
Virus BYD, menurut Gao, sangat erat dengan virus Tembusu, varian flavivirus yang ditemukan di Asia Tenggara. Sama seperti virus itu, peneliti memperkirakan, penyebaran BYD bisa dilakukan oleh nyamuk.
Namun demikian, perkiraan penyebaran virus lewat nyamuk ini tidak serta-merta disepakati oleh peneliti lain. “Transmisi lewat nyamuk jangan dulu dijadikan sebuah kesimpulan,” kata Ernest Gould, virologist dari Universite de la Mediterranee di Marseille, Perancis.
Gould menyebutkan, perubahan temperatur pada periode penyebaran virus itu tidak konsisten dengan flavavirus lain yang disebarkan oleh nyamuk.
Sebagai informasi, virus BYD yang menjangkiti bebek di China terjadi di awal musim semi, saat udara masih dingin. Ketika itu, populasi nyamuk umumnya masih rendah dan puncaknya berlanjut selama musim semi tersebut.
“Masih perlu dilakukan penelitian epidemiologi yang lebih detail untuk menyimpulkan hal itu,” kata Gould. “Namun demikian, temuan itu merupakan peringatan penting, termasuk bagi penduduk kawasan lain di luar China. Penyebaran flavivirus baru China ini bisa menjadi masalah global,” ucapnya.
Tersebarnya peternakan bebek di China juga membuat Gao dan rekan-rekannya menegaskan bahwa penyakit ini harus dimonitor secara ketat. Apalagi virus itu bisa menyebar ke manusia. “Langkah berikutnya adalah mengembangkan vaksin untuk mengatasi virus BYD ini,” ucap Gao. (SJ)
Posting Komentar