“Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini, tapi di jalan setapaknya masing-masing. Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama, mencari satu hal yang sama, menuju tujuan yang sama, yaitu Tuhan… Aku pindah agama bukan berarti aku mengkhianati Tuhan.”
Kata-kata itu betul-betul saya garis bawahi, satu bulan sebelum Film ? garapan hanung launching. Entah kebetulan atau tidak, kalimat dalalm cuplikan film ? tersebut ternyata persis dengan bunyi surat Fritjof Schuon kepada Albert Ossey, tahun 1932. Coba anda bandingkan:
“Have I ever said that the path to God passes through Mecca? If there were any essential difference between a path that passes through Benaris and one that passes through Mecca, how could you think that I would wish to come to God “through Mecca,” and thereby betray Christ and the Vedanta? In what why does the highest spiritual path pass through Mecca or Benares or Lhasa or Jerussalem or Rome. Is the Nirvana of Mecca different from the Nirvana of Benares?”
Yang artinya kira-kira begini: Apakah aku pernah bilang bahwa jalan menuju Tuhan hanya bisa dilalui lewat Mekkah? Jika disana ada perbedaan mendasar antara jalan yang melewati Benaris (India) dan satu yang melalui Mekkah, bagaimana mungkin Anda berpikir bahwa aku ingin datang kepada Tuhan "melalui Mekah," dan dengan cara demikian mengkhianati Kristus dan Vedanta? Mengapa jalan spiritual tertinggi melewati Mekah atau Benares atau Lhasa atau Jerussalem atau Roma? Apakah nirvana dari Mekah berbeda dengan nirvana dari Benares?
Bentuk-bentuk pertanyaan menyentil itulah yang dipakai Schuon untuk menyadarkan orang-orang agar tidak mengklaim bahwa agamanya adalah paling benar. Fritjof Schuon adalah seorang kelahiran Swiss yang mencoba memetakan jalan berbeda untuk menuju satu Tuhan tanpa harus mengkhianati Tuhan itu sendiri.
Pergulatannya mencari spiritualitas mengantarkannya bertemu Rene Guénon (baca: Gino) salah seorang freemason kenamaan dari Perancis. Sejak berusia 16 tahun, Schuon telah membaca karya Guénon, Orient et Occident. Kagum dengan pemikiran Guénon, Schuon saling berkirim surat dengan Guénon selama 20 tahun.
Setelah berkorespodensi sekian lama, akhirnya, untuk pertama kalinya Schuon bertemu dengan Guénon di Mesir pada tahun 1938. Schuon akhirnya memeluk Islam dengan nama Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi al-Alawi al-Maryami.
Bagi Schuon, agama memang berbeda pada tiap-tiap simbolnya. Orang Islam mendirikan shalat, umat Kristen berdoa di gereja, dan Hindu beribadah demi Nirwana. Namun, bagi Schuon, pada substansinya masing-masing agama merujuk pada satu Tuhan yang sama.
Kalimat inilah yang kemudian ia namakan menjadi religio perennis (agama abadi) dan diterjemahkan Nurcholish Madjid empat puluh tahun kemudian dengan nama inklusifisme. Apa yang dimaksud agama abadi tidak lain adalah bahwa ada kebenaran abadi yang dibawa masing-masing agama hingga saat ini.
Menariknya kalimat “In what why does the highest spiritual path pass through Mecca or Benares or Lhasa or Jerussalem or Rome” itu pula yang menggema di pikiran Komarudin Hidayat hingga kemudian ia berujar:
“Implikasi praktisnya dalam beragama adalah tidak setiap kaum beragama yang agamanya diakui sebagai satu-satunya yang benar secara otomatis adalah jaminan memperoleh keselamatan. Demikian sebaliknya, tidak setiap kaum beragama yang agamanya diakui sebagai sesat dan kafir sekalipun tidak secara otomatis memperoleh neraka dan kesengsaraan di akhirat kelak”
Perenialisme berbeda dengan New Age, jika New Age meminta manusia untuk tidak mementingkan lagi agama, perenialisme masih butuh agama. Karena agama adalah kunci ekspresi spiritualitas seseorang, walau tidak lama kemudian perenialisme menyatakan tidak semua agama benar, sekaligus tidak semua agama salah. Yang salah jika sebuah agama tertentu mengklaim diri paling jitu. Ini problem, bagi pengikut “agama” Schuon.
Pemikiran Schuon tentang titik temu agama-agama pada level esoteris secara konseptual masih bermasalah. Sebab pada tingkat esoteris pun terdapat perbedaan mendasar antara Islam dengan agama-agama lain.
Schuon nampaknya didorong oleh suatu motif agar antar agama-agama yang ada di dunia tidak terjadi pertentangan. Tapi teorinya cenderung membenarkan semua agama. Padahal Islam adalah agama yang justru menjelaskan kesalahan-kesalahan yang terdapat pada agama-agama sebelumnya.
Rupanya ini pula yang dimaksud Hanung. Filmnya berjudul ?, walau memang rilis tahun 2011, namun sejatinya skenario itu sudah ditulis oleh Schuon jauh hari. Bisa dikatakan Hanung hanya mengkopinya ke layar kaca lewat tokoh Rika, Surya, dan Hendra.
Yang menjadi pertanyaan sekarang sebenarnya sederhana: apakah Hanung Bramantyo adalah juga seorang freemason sama dengan Schuon? Semoga saja tidak. (pz)
Referensi
Adnin Armas, Gagasan Fritjof Schuon Tentang Titik Temu Agama-agama, dalam Jurnal Islamia, Dibalik Pahama Pluralisme Agama, (Thn 1 No 3: Pustaka Khairul Bayyan, 2004)
Adnin Armas, Gagasan Fritjof Schuon Tentang Titik Temu Agama-agama, dalam Jurnal Islamia, Dibalik Pahama Pluralisme Agama, (Thn 1 No 3: Pustaka Khairul Bayyan, 2004)
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001)
Dinar Dewi Kania, Mewaspadai Kebangkitan Filsafat Perenial, Makalah Diskusi Sabtuan INSISTS, 16/04/2011
Komaruddin Hidayat, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial, (Jakarta: Paramadina, 1995
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta : Penerbit Kompas, 2001)
Posting Komentar