Lahir di sebuah keluarga petani miskin, sejak kecil Mao harus bekerja keras dan hidup prihatin. Meskipun di kemudian hari keadaan ekonomi keluarganya meningkat, tetapi kesengsaraan di masa kecil itu banyak mempengaruhi kehidupannya kelak.
Ketika kecil, Mao dikirim untuk belajar di sekolah dasar. Pendidikannya sewaktu kecil juga mencakup ajaran-ajaran klasik Konfusianisme. Tetapi pada usia 13 tahun, ayahnya menyuruhnya berhenti bersekolah dan menyuruhnya bekerja di ladang-ladang. Mao memberontak dan bertekad ingin menyelesaikan pendidikannya sehingga ia nekat kabur dari rumah dan melanjutkan pendidikannya di tempat lain.
Pada tahun 1905, ia mengikuti ujian negara yang pada saat itu mulai menghapus paham-paham konfusianisme lama, digantikan oleh pendidikan gaya Barat. Hal ini menandakan permulaan ketidakpastian intelektual di Cina.
Pada tahun 1911, Mao terlibat dalam revolusi xinhai yang merupakan revolusi melawan Dinasti Qing yang berakibat kepada runtuhnya kekaisaran Cina yang sudah berkuasa lebih 2000 tahun sejak tahun 221 SM. Tahun 1912, Republik Cina diproklamasikan oleh Sun Yat-sen dan Cina dengan resmi masuk ke zaman republik. Mao lalu melanjutkan sekolahnya dan mempelajari banyak hal antara lain budaya barat. Pada tahun 1918 ia lulus dan lalu kuliah di Universitas Beijing. Di sana ia akan berjumpa dengan para pendiri PKT yang berhaluan Marxis.
Falsafah Mao
Mao sebenarnya bukan seorang filsuf yang orisinil. Gagasan-gagasannya berdasarkan bapak-bapak sosialisme lainnya seperti Karl Marx, Friedrich Engels, Lenin dan Stalin. Tetapi ia banyak berpikir tentang materialisme dialektik yang menjadi dasar sosialisme dan penerapan gagasan-gagasan ini dalam praktek seperti dikerjakan Mao bisa dikatakan orisinil. Mao bisa pula dikatakan seorang filsuf Cina yang pengaruhnya paling besar dalam Abad ke 20 ini.
Konsep falsafi Mao yang terpenting adalah konflik. Menurutnya: “Konflik bersifat semesta dan absolut, hal ini ada dalam proses perkembangan semua barang dan merasuki semua proses dari mula sampai akhir.” Model sejarah Karl Marx juga berdasarkan prinsip konflik: kelas yang menindas dan kelas yang tertindas, kapital dan pekerjaan berada dalam sebuah konflik kekal. Pada suatu saat hal ini akan menjurus pada sebuah krisis dan kaum pekerja akan menang. Pada akhirnya situasi baru ini akan menjurus kepada sebuah krisis lagi, tetapi secara logis semua proses akhirnya menurut Mao, akan membawa kita kepada sebuah keseimbangan yang stabil dan harmonis.
Mao jadi berpendapat bahwa semua konflik bersifat semesta dan absolut, jadi dengan kata lain bersifat abadi. Konsep konflik Mao ini ada kemiripannya dengan konsep falsafi yin-yang. Semuanya terdengar seperti sebuah dogma kepercayaan. Di bawah ini disajikan sebuah cuplikan tentang pemikirannya tentang konflik.
Dalam ilmu pengetahuan semuanya dibagi berdasarkan konflik-konflik tertentu yang melekat kepada obyek-obyek penelitian masing-masing. Konflik jadi merupakan dasar daripada sesuatu bentuk disiplin ilmu pengetahuan. Di sini bisa disajikan beberapa contoh: bilangan negatif dan positif dalam matematika, aksi dan reaksi dalam ilmu mekanika, aliran listrik positif dan negatifa dalam ilmu fisika, daya tarik dan daya tolak dalam ilmu kimia, konflik kelas dalam ilmu sosial, penyerangan dan pertahanan dalam ilmu perang, idealisme dan materialisme serta perspektif metafisika dan dialektik dalam ilmu filsafat dan seterusnya. Ini semua obyek penelitian disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang berbeda-beda karena setiap disiplin memiliki konfliknya yang spesifik dan esensi atau intisarinya masing-masing.
Contoh-contoh yang diberikan oleh Mao Zedong mengenai 'konflik' dalam disiplin yang berbeda-beda diambilnya dari Lenin. Beberapa analogi memang pas tetapi yang lain-lain tidak. Bilangan-bilangan negatif dan positif merupakan sebuah contoh yang buruk mengenai dialektika marxisme karena perbedaan mereka tidak dinamis: hanya ada bilangan-bilangan negatif dan positif baru yang bermunculan. Pendapat Mao menjadi meragukan lagi apabila ia mengatakan bahwa 'konflik'-'konflik' ini merupakan 'intisari' daripada disiplin ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Bilangan negatif dan positif bukanlah intisari ilmu matematika, begitu pula metafisika dan dialektika bukanlah intisari dari filsafat.
Mao adalah seseorang yang terpelajar dan pengertian-pengertiannya yang salah bisa diterangkan dari sebab ia sangat terobsesi dengan konsep konflik ini. Obsesi ini juga mempengaruhi keputusan-keputusan politiknya seperti akan dipaparkan di bawah nanti.
Konsep Mao kedua yang penting adalah konsepnya mengenai pengetahuan yang juga ia ambil dari paham Marxisme. Mao berpendapat bahwa pengetahuan merupakan lanjutan dari pengalaman di alam fisik dan bahwa pengalaman itu sama dengan keterlibatan.
Jika engkau mencari pengetahuan maka engkau harus terlibat dengan keadaan situasi yang berubah. Jika kau ingin mengetahui bagaimana sebuah jambu rasanya, maka jambu itu harus diubah dengan cara memakannya. Jika engkau ingin mengetahui sebuah struktur atom, maka engkau harus melakukan eksperimen-eksperimen fisika dan kimia untuk mengubah status atom ini. Jika engkau ingin mengetahui teori dan metoed revolusi, maka engkau harus mengikutinya. Semua pengetahuan sejati muncul dari pengalaman langsung.
Hanya setelah seseorang mendapatkan pengalaman, maka ia baru bisa melompat ke depan. Setelah itu pengathuan dipraktekkan kembali yang membuat seseorang mendapatkan pengalaman lagi dan seterusnya. Di sini diperlihatkan bahwa Mao tidak saja mengenal paham Marxisme tetapi juga paham neokonfusianisme seperti dikemukakan oleh Wang Yangmin yang hidup pada abad ke 15 sampai ke abad ke 16.
Mao dan Partainya
Mao Zedong memproklamasikan Republik Rakyat Cina pada tanggal 1 Oktober 1949.Republik Rakyat Cina semenjak diproklamasikan oleh Mao pada tahun 1949 tidak diakui oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat tetap mengakui Republik Nasionalis Cina yang semenjak tahun 1949 hanya menguasai pulau Formosa atau Taiwan dan sekitarnya. Cina yang sejak didirikannya PBB pada tahun 1945 sudah menjadi anggota Dewan Keamanan secara tetap bersama dengan Amerika Serikat, Britania Raya, Perancis dan Uni Soviet (Rusia) sebagai pemenang Perang Dunia II, tetap diwakili pula.
Cuma yang mewakili adalah pemerintah nasionalis yang sekarang hanya memerintah Taiwan saja. Hal ini menjadi aneh sebab Cina daratan yang kala itu berpenduduk kurang lebih 800 juta jiwa tidak diwakili di PBB; yang mewakili hanya Taiwan saja yang kala itu berpenduduk mungkin tidak lebih dari 10 juta jiwa.
Berdirinya Republik Rakyat Cina diproklamasikan di Beijing oleh Mao Zedong pada tanggal 1 Oktober 1949. Pada tahun pertama, terlihat perbaikan ekonomi yang mengesankan. Tetapi pada akhir tahun 1950, kemajuan negara berkurang akibat dari dibuatnya kebijakan Langkah Besar ke Depan. Langkah Besar ke Depan ini terdiri dari dua bidang : pertanian dan industri.
Pada bidang pertanian, Langkah Besar ke Depan memfokuskan pada proyek irigasi secara besar-besaran dan membentuk Komune Rakyat dengan total kolektivisasi hasil pertaniannya. Kolektivisasi itu tidak di dalam rumah tangga pribadi lagi. Sehingga sistem yang baru itu sama sekali tidak produktif. Tidak ada dorongan dari para petani untuk menunjukkan keinginan meningkatkan produksi maupun mutu.
Maka pada akhir tahun 1960-an presiden Amerika Serikat, Richard Nixon, mulai mendekati Republik Rakyat Cina dan akhirnya dengan persetujuan Uni Soviet RRT menjadi anggota Dewan Keamanan PBB mulai tahun 1972 dan menggantikan Taiwan.
Partai Mao didirikan pada tahun 1921 dan Mao semakin hari semakin vokal. Antara tahun 1934 – 1935 ia memegang peran utama dan memimpin Tentara Merah Cina menjalani “Mars Panjang”. Lalu semenjak tahun 1937 ia ikut menolong memerangi Tentara Dai Nippon yang menduduki banyak wilayah Cina. Akhirnya Perang Dunia II berakhir dan perang saudara berkobar lagi. Dalam perang yang melawan kaum nasionalis ini, Mao menjadi pemimpin kaum Merah dan akhirnya ia menangkan pada tahun 1949. Pada tanggal 1 Oktober tahun 1949, Republik Rakyat Cina diproklamasikan dan pemimpin Cina nasionalis, Chiang Kai Shek melarikan diri ke Taiwan.
Dalam PKT Mao sendiri sejak tahun 1943 adalah ketua sekretariat partai dan Politbiro tetapi sebenarnya ia mengontrol seluruh partai sampai ia mati pada tahun 1976. Kepemimpinan mungkin tidak kejam secara vulgar seperti Stalin tetapi kekerasan kebijakannya dan kelakuannya yang semau dirinya sendiri membawa rakyat Cina terpuruk ke dalam kehancuran dan kesengsaraan yang luar biasa.
Revolusi di Cina pada tahun 1949 adalah sebuah peristiwa historis yang penting, terutama untuk gerakan radikal di dunia ketiga, termasuk Indonesia. Banyak partai Komunis dan kelompok radikal lainnya yang dilhami oleh teori-teori Mao. Dan "Revolusi Kebudayaan" tahun 1960-an juga menjadi inspirasi untuk gerakan-gerakan mahasiswa kiri sampai kini.
Sayangnya inspirasi ini sangat salah arah. Revolusi yang dipimpin Mao tidak membangun sebuah masyarakat sosialis di mana kaum pekerja sendiri yang menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi, sosial serta politik. Rezim Maois dikuasai oleh birokrasi otoriter, dan perekonomian RRC tidak luput dari logika kapitalis, walaupun perusahaan-perusahaan besar milik negara. Dan akhirnya, setelah Mao meninggal, RRC yang disebut "sosialis" itu mulai menjelma menjadi negara yang berekonomi pasar dan semakin mirip dengan negeri-negerilain.
Itu bisa terjadi karena pada dasarnya, tujuan-tujuan Mao dan Partai Komunis Cina bukan untuk membangun sosialisme, melainkan untuk membangun ekonomi nasional yang kuat. Kaum buruh dan tani menjadi korban
Riwayat Mao dimulai dengan hancurnya gerakan buruh revolusioner Cina. Antara tahun 1925 sampai dengan 1927, kota-kota di Cina mengalami sejumlah pemberontakan buruh yang dipimpin oleh Partai Komunis muda. Pemogokan massa meledak di Hong Kong dan laskar buruh yang bersenjata menguasai jalan-jalan kota Guangzhou.
Perjuangan ini mulai di bawah payung gerakan nasionalis, tetapi kemudian berkembang lebih luas menjadi sebuah "revolusi permanen" yang semakin berhaluan sosialis. Namun waktu itu aliran komunis internasional (Komintern) sudah mulai didominasi oleh kebijakan Stalin, bahwa revolusi-revolusi di dunia ketiga harus melalui dua tahapan. Menurut Stalin, revolusi di Cina harus tetap dalam perbatasan "revolusi demokratik" saja. Makanya para komunis Cina disuruh untuk menyerahkan senjata-senjata mereka kepada golongan nasionalis. Mereka patuh; dan kemudian dibantai oleh golongan nasionalis tersebut.
Beberapa satuan komunis di pedesaan bisa bertahan hidup dan mereka berkumpul di pegunungan-pegunungan. Organisasi komunis di perkotaan hampir lenyap sama sekali.
Mao menjadi pimpinan dan mengembangkan strategi baru dengan poros ke kelas petani. Pada awal tahun 1930-an para komunis berhasil mendirikan sejumlah "pangkalan merah" di beberapa daerah terpencil. Pemerintah-pemerintah setempat dicap "soviet-soviet", walaupun tidak mirip sama sekali dengan soviet (dewan buruh) demokratis yang muncul waktu revolusi Rusia. "Soviet-soviet" Mao merupakan sebuah kediktatoran militer oleh para tentara komunis, yang memang agak baik hati terhadap kaum tani. Namun ini jauh dari demokrasi revolusioner dalam artian Marxis.
Pangkalan itu diserang lima kali oleh pasukan pemerintah nasionalis, sampai akhirnya para komunis terpaksa harus mundur dari daerah-daerah ini, dengan menempuh perjalanan panjang Long March ke daerah Yenan.
Pada tahun 1931 Jepang menginvasi Cina, dan pemerintah nasionalis yang korup tidak mampu melawan, sehingga kota-kota utama diduduki Jepang. Seusai perjalanan Long March, Mao mennaikan semboyan perlawanan terhadap pendudukan itu. Begitu Jepang kalah dalam perang di kawasan Pasifik dan mulai menarik pasukan dari Cina, tentara komunis bisa mengalahkan tentara Jepang, kemudian merebut kota demi kota dari tangan kaum nasionalis. Pada tahun 1949, Mao dan Partai Komunis sudah menguasai negeri Cina. Kata Mao: "Cina telah bangkit!"
Tetapi siapa yang bangkit? Bukan kelas buruh, dan bukan para penduduk urban pada umumnya. Seperti dipaparkan oleh John Molyneux dalam Mana Tradisi Marxis Yang Sejati?:
"Mao masih mengucapkan sentimen-sentimen tentang ‘peranan pemimpin kaum proletarian’ yang akan membimbing kelas petani. Tetapi sebetulnya, proletariat tidak berperan sama sekali dalam revolusi tahun 1949. Mao bahkan menulis pada tahun itu: ‘Diharap supaya semua buruh dan karyawan di semua bidang akan bekerja terus dan semua perusahaan akan berjalan seperti biasa.’ Maka ‘kepemimpinan proletarian’ hanya bisa berarti kepemimpinan Partai Komunis. Mengingat bahwa jumlah buruh yang ikut partai tersebut hanya sedikit saja, maka ‘pimpinan proletarian hanya berarti "ideologi proletarian", yang sebenarnya merupakan program Stalinis."
Revolusi tahun 1949 biasanya dimengerti sebagai sebuah revolusi petani. Namun bagaimana hubungannya antara kepemimpinan Partai Komunis dan kaum tani dalam sebuah perang gerilya? John Molyneux berargumentasi lebih lanjut:
"Tentara gerilya akan terdiri hampir 100 persen atas orang yang berlatarbelakang petani, namun hanya sebuah minoritias kecil dari kelas petani yang akan ikut berperang. Tentara Mao berjumlah beberapa juta – tetapi itu hanya persentase kecil dari 500 juta petani Cina. Hal ini tidak terhindarkan dalam perang gerilya yang menggunakan taktik 'tabrak lari', dengan pasukan yang selalu berpindah-pindah tempat…"
Sehingga tentara gerilya tidak betul-betul bergabung dengan massa petani dan mentalitasnya menjadi elitis:
"Mentalitas elitis ini sangat menyolok pula dalam perintah-perintah yang diberikan oleh Mao kepada pasukan gerilyawan dalam pergaulan mereka dengan kelas petani: ‘Sopan-santunlah! Tolong mereka sedapat mungkin. Semua benda yang dipinjam harus dikembalikan … Semua benda yang dibeli harus dibayar.’ Perintah-perintah ini membuktikan betapa timpangnya hubungan antara kaum prajurit dan kaum tani. Perintah-perintah tersebut memang sangat diperlukan, karena kondisi-kondisi obyektif senantiasa menggoda para prajurit untuk menghisap dan menindas kaum tani. Sedangkan situasi kelas buruh jauh berbeda.
Sulit sekali dibayangkan sebuah organisasi buruh revolusioner yang harus memperingatkan kader-kadernya agar manyatukan kaum poletar."
Sebenarnya revolusi Maois adalah sebuah revolusi militer-birokratis yang berhaluan nasionalis bukan Marxis. Mao sendiri mengungkapkan pada bulan Juli 1949 bahwa "kebijakan kita kini adalah untuk mengatur kapitalisme, bukan untuk membinasakannya." Beberapa tahun kemudian, dihadapan tekanan imperialisme barat, Mao memang menjalankan perubahan-perubahan yang tampknya "sosialis" dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan besar. Tetapi para manajer lama sering menjadi manajer dalam sistem baru, sedangkan kaum buruh tidak ikut mengurus tempat-tempat kerja. Di pedesaan, kaum tani mengalami nasib yang mirip. Pada hakekatnya rezim ini lebih patut disebut kapitalis negara, karena rakyat pekerja tidak terlibat sama sekali dalam pemerintahan.
Mula-mula pola pembangunan industri di Cina berlangsung menurut model klasik stalinistis yang diterapkan oleh Stalin sendiri pada tahun 1930-an di Uni Soviet. Namun hasil dari pola ini tidak memuaskan kaum penguasa. Walau ekonomi Cina bertumbah pesat, akan tetapi ekonomi-ekonomi barat sedang boom waktu itu, sehingga Cina semakin ketinggalan. Oleh karena itu, rezim menerapkan sebuah kebijakan yang nekad untuk mengejar ketinggalannya, dengan meningkatkan laju eksploitasi terhadap kaum buruh dan tani. Dalam "Lompatan Besar" tahun 1958-1960, rezim menentukan target-target produksi yang ekstrim, dan mengadakan "kampanye-kampanye massa" guna memaksa rakyat pekerja untuk membanting tulang dalam upaya mencapai target-target tersebut. Meskipun para buruh dan tani bekerja sampai kehabisan tenaga, hasilnya belum juga memadai; lantas para pimpinan perusahaan berbohong dan memalsukan data-data produksi.
Akibatnya parah sekali, terutama di pedesaan di mana kaum tani dipaksa untuk masuk komune-komune besar. Komune-komune tersebut digembar-gemborkan sebegai "langkah ke arah komunisme". Sebenarnya sangat mirip dengan "komunisme barak" otoriter yang dikutuk Marx. Hasil panen amat mengecewakan, sampai pada tahun 1961 terjadi paceklik di beberapa daerah dan pemberontakan bersenjata meledak di dua propinsi.
Akhirnya pemerintah kalah. "Lompatan Besar" dihentikan, dan kaum tani diajak untuk menjalankan produksi swasta. Mao agak tersisih, dan orang lain menentukan kebijakan ekonomi. Hasil-hasil panen mulai naik lagi, tetapi jurang pemisah antara petani kaya dan petani miskin mulai meningkat pula.
Mao sendiri belum juga kapok. Pada tahun 1965 dia memobilisasi para pendukungnya di bawah panji "Revolusi Kebudayaan". Sekali lagi, "revolusi" tersebut didengungkan sebagai perjuangan "komunis". Sebenarnya Mao hanya ingin menghantam musuh-musuhnya dalam kelas penguasa. Di ibukota Beijing upaya itu berhasil tanpa kekisruhan. Namun di daerah-daerah Mao harus memicu konflik-konflik, dan "Garda Merah" (kelompok-kelompok Maois) turun ke jalan untuk meyerang pihak yang berwenang.
Suasana "revolusioner" memang berkembang di beberapa daerah, karena pihak yang berwenang itu sangat dibenci oleh rakyat. Garda Merah yang terdiri atas pelajar-pelajar menghina bahkan menganiaya para pejabat lokal. Namun kampanye ini dengan cepat sekali melampaui segala batasan. Guru-guru juga dianiaya, dan musium-musium dibakar karena dianggap kebarat-baratan dan dekaden. Kejadian-kejadian ini disertai oleh pengkultusan terhadap Mao sebagai "Sang Surya yang tidak pernah tenggelam". Seperti diungkapkan dalam sebuah perintah kepada para anggota angkatan laut: "Kita harus mematuhi instruksi-instruksi Ketua Mao, bahkan jika instruksi itu tidak kita mengerti."
Akhirnya Mao semakin kehilangan kontrol atas kekisruhan yang disebabkan oleh Revolusi Kebudayaan itu. Para birokrat di daerah-daerah yang merasa terancam membalas dengan mengerahkan "Garda-Garda Merah" sendiri, sampai kelompok-kelompok pelajar saling berhantaman dimana-mana, dan kelas penguasa semakin khawatir bahwa sebuah perang sipil bisa meletus. Lebih parah lagi (di mata mereka), kelas buruh mulai bergerak secara indepen dengan sebuah gelombang aksi mogok. Kemudian muncul satu kelompok yang bersifat Marxis dalam artian aslinya. Kelompok Sheng Wu Lien mengembangkan sebuah analis kritis bahwa rezim Mao bukan sosialis. Dalam sebuah manifesto yang berjudul "Cina Mau Kemana?" mereka berargumentasi bahwa "kontradiksi-kontradiksi sosial yang telah menimbulkan Revolusi Kebudayaan adalah kontradiksi antara kekuasaan borjuasi birokratis baru dengan massa rakyat", sehingga "masyarakat membutuhkan perubahan yang lebih mendasar … [kita harus] menumbangkan borjuasi birokratis dengan menghapuskan aparatus negara lama, dan menjalankan revolusi sosial serta menerapkan tatanan sosial baru…"
Kaum penguasa meresponnya dengan represi kejam. Pemuda-pemudi dibuang ke daerah-daerah terpencil dalam jumlah besar untuk menghancurkan Garda Merah. Ratusan ribu rakyat dibantai di propinsi Guangxi dan beberapa tempat lainnya. Represi itu terjadi atas perintah Mao sendiri, tetapi tahap terakhir Revolusi Kebudayaan ini juga merupakan kekalahan besar buat Mao dan para Maois.
Dalam perkembngan partai komunis tidak hanya memfokuskan pada pertanian saja, tapi pada saat yang sama juga melakukan desentralisasi pada industri, khususnya industri berat. Sementara itu negara diuntungkan oleh desentralisasi industri kompleks melalui Langkah Besar ke Depan ini. Contohnya adalah perkembangan tempat pembakaran baja yang berguna untuk membuat peralatan, seperti perabot rumah tangga; dilebur menjadi kepingan logam yang tak berguna.
Efek dari Langkah Besar ke Depan ini, nampak jelas saat Cina mengalami malapetaka bencana banjir dan masa kekeringan yang cukup serius pada tahun 1959 dan 1960. Sehingga mengakibatkan jutaan orang Cina kelaparan hebat. Setelah kejadian ini, banyak kebijakan Langkah Besar ke Depan yang ditinggalkan, kecuali desentralisasi industri baja. Sistem Komune Rakyat masih tetap hidup, bahkan bangkit kembali selama masa Revolusi Budaya beberapa tahun kemudian. Hal ini disebabkan karena Mao Zedong yang berada di belakang semua ini.
Revolusi Budaya diperkenalkan oleh Mao Zedong pada tahun 1966, karena ia ingin menghapuskan persaingan dalam hirarki Partai Komunis, seperti Liu Shaoqui. Mao memanfaatkan dukungan dari penduduk untuk menghadapi para pejabat partai yang dianggap tidak loyal terhadapnya dan kurang memiliki semangat revolusioner. Pada awalnya, dalih Revolusi Budaya ini diduga keras memiliki kecenderungan kontrarevolusi di antara para intelektual. Tapi kemudian meluas hingga menjangkau birokrasi dan wewenang, kecuali tidak termasuk Mao Zedong.
Revolusi Budaya banyak diatur oleh istri Mao Zedong, Jiang Qing. Setelah kelompok Pengawal Merah pertama kali dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa Beijing, situasi negara menjadi tak terkendali. Kelompok Pengawal Merah ini bergerak melawan semua birokrasi dan menghancurkan sejumlah tempat religius dan historis. Selama empat tahun Revolusi Budaya (1966-1970), praktis semua universitas dan sekolah tutup.
Pada tahun pertama Revolusi Budaya (1966-1967), negara mengalami keadaan kacau balau oleh tindakan Pengawal Merah yang secara bebas menyerang apa pun juga. Targetnya adalah pejabat-pejabat rendah dan menengah serta kader-kader partai. Bahkan para pejabat tinggi, kecuali Mao dan orang-orang terdekatnya. Para pesaing Mao di eselon partai tertinggi disingkirkan, dan Mao menginginkan leboh banyak militer menjadi bagian Revolusi Budaya ini. Sehingga pada tahun 1967, Tentara Pembebasan Masyarakat Cina dibentuk sebagai barisan depan Revolusi Budaya. Menteri Pertahanan Lin Biao, menjadi orang terkuat kedua di Cina setelah Mao Zedong, dan sengaja dipilih untuk mendukung kesuksesan.
Namun pada tahun 1971, Mao mulai tidak disenangi oleh para perwira Tentara Pembebasan Masyarakat Cina, karena penetrasi di semua aspek kehidupan. Hal ini terlihat jelas saat Mao dikecam oleh para pemimpin TPMC, dan bahkan menteri pertahanan Lin Biao mencoba mengancam kehidupan Mao. Keadaan yang terjadi pada tanggal 13 September 1971 tidak pernah terklarifikasi. Dijelaskan bahwa Lin Biao dan keluarganya mencoba melarikan diri dengan pesawat jet Trident ke Rusia. Tapi menurut dugaan, mereka tidak membawa cukup bensin, sehingga jet itu jatuh di Mongolia.
Mao Zedong meninggal pada tanggal 9 September 1976. Penggantinya adalah Hua Guofeng, yang pernah menjabat sebagai perdana menteri setelah kematian Zou Enlai pada Januari 1976. Hua Guofeng merupakan seorang calon yang disetujui bersama oleh golongan radikal dan pragmatis CCP, padahal sebenarnya ia tidak memiliki kekuatan sendiri.
Mao dan Kebijakan Politiknya
Mao membedakan dua jenis konflik; konflik antagonis dan konflik non-antagonis. Konflik antagonis menurutnya hanya bisa dipecahkan dengan sebuah pertempuran saja sedangkan konflik non-antagonis bisa dipecahkan dengan sebuah diskusi. Menurut Mao konflik antara para buruh dan pekerja dengan kaum kapitalis adalah sebuah konflik antagonis sedangkan konflik antara rakyat Cina dengan Partai adalah sebuah konflik non-antagonis.
Pada tahun 1956 Mao memperkenalkan sebuah kebijakan politik baru di mana kaum intelektual boleh mengeluarkan pendapat mereka sebagai kompromis terhadap Partai yang menekannya karena ingin menghindari penindasan kejam disertai dengan motto: “Biarkan seratus bunga berkembang dan seratus pikiran yang berbeda-beda bersaing.” Tetapi ironisnya kebijakan politik ini gagal: kaum intelektual merasa tidak puas dan banyak mengeluarkan kritik. Mao sendiri berpendapat bahwa ia telah dikhianati oleh mereka dan ia membalas dendam. Sekitar 700.000 anggota kaum intelektual ditangkapinya dan disuruh bekerja paksa di daerah pedesaan.
Pada tahun 1958 Mao meluncurkan apa yang ia sebut Lompatan Jauh ke Depan di mana daerah pedesaan direorganisasi secara total. Di mana-mana didirikan perkumpulan-perkumpulan desa (komune). Secara ekonomis ternyata ini semua gagal. Komune-komune ini menjadi satuan-satuan yang terlalu besar dan tak bisa terurusi. Diperkirakan kurang lebih hampir 20 juta jiwa penduduk Cina kala itu tewas secara sia-sia.
Mao percaya akan sebuah revolusi yang kekal sifatnya. Ia juga percaya bahwa setiap revolusi pasti menghasilkan kaum kontra-revolusioner. Oleh karena itu secara teratur ia memberantas dan menangkapi apa yang ia anggap lawan-lawan politiknya dan para pengkhianat atau kaum kontra-revolusioner. Peristiwa yang paling dramatis dan mengenaskan hati ialah peristiwa Revolusi Kebudayaan yang terjadi pada tahun 1966.
Pada tahun 1960an para mahasiswa di seluruh dunia memang pada senang-senangnya memberontak terhadap apa yang mereka anggap The Establishment atau kaum yang memerintah. Begitu pula di Cina. Bedanya di Cina mereka didukung oleh para dosen-dosen mereka dan pembesar-pembesar Partai termasuk Mao sendiri.
Para mahasiswa dan dosen mendirikan apa yang disebut Garda Merah, yaitu sebuah unit paramiliter. Dibekali dengan Buku Merah Mao, mereka menyerang antek-antek kapitalisme dan pengaruh-pengaruh Barat serta kaum kontra-revolusioner lainnya. Sebagai contoh fanatisme mereka, mereka antara lain menolak berhenti di jalan raya apabila lampu merah menyala karena mereka berpendapat bahwa warna merah, yang merupakan simbol sosialisme tidak mungkin mengartikan sesuatu yang berhenti.
Maka para anggota Garda Merah ini pada tahun 1966 sangat membabi buta dalam memberantas kaum kontra revolusioner sehingga negara Cina dalam keadaan amat genting dan hampir hancur; ekonominyapun tak jalan. Akhirnya Mao terpaksa menurunkan Tentara Pembebasan Rakyat untuk menanggulangi mereka dan membendung fanatisme mereka. Hasilnya adalah perang saudara yang baru berakhir pada tahun 1968.
Pada tahun 1976 Mao Zedong meninggal dunia. Setelah itu Republik Rakyat Cina menjadi semakin terbuka.
Normalisasi hubungan diplomatik dengan Indonesia juga terwujud pada tahun 1992. Pada saat ini Cina tampil sebagai sebuah raksasa yang baru bangun dari tidurnya dan pertumbuhan ekonomi sangat pesat. Bahkan Cina bisa melampaui Rusia dalam perkembangannya. Hal yang dipertentangkan sekarang ialah apakah ini semua bisa diraih berkat jasa-jasa Mao atau karena pengaruhnya sudah tipis.
Setelah Mao meninggal, para pendukungnya (termasuk istrinya ) ditangkap dan dihukum. Dan kebijakan ekonomi pemerintah makin lama makin membuka jalan untuk mekanisme pasar, sehingga Cina mulai menempuh "jalan kapitalis" yang selalu dikhawatirkan Mao. Sekali lagi ekonomi pulih kembali; tetapi sekali lagi jurang pemisah antara si miskin dan si kaya menjadi semakin besar.
Unsur-unsur sosial yang sama tetap menjadi kelas penguasa, terutama para pejabat partai, negara dan industri. Kelas buruh dan kelas petani terus menjadi kelas tertindas. Sebenarnya, kebijakan pro-pasar ini tidak berarti sebuah peralihan ke kapitalisme. Kapitalisme sudah ada di Cina dari dulu, dalam bentuk kapitalisme negara. Hanya itulah yang dibangun oleh Mao.
Posting Komentar