7 Mitos Tentang Tol Cipularang



Tol Cipularang, baru-baru ini menelan korban jiwa dalam beberapa kecelakaan mobil. Mitos seputar tol itu pun banyak menyebar luas. Menurut pengamat otomotif dan Pendiri & Instruktur Jakarta Defensive Driving Consulting (JDCC) Jusri Pulubuhu, terdapat beberapa mitos dan fakta mengenai tol ini.

1. Jalan tol merupakan jalan bebas hambatan di mana pengemudi bisa melaju dengan aman. Namun tidak pada tol Cipularang. Jalan tol ini memiliki banyak rintangan seperti tikungan dengan derajat ketajaman bervariasi hingga kilometer tertentu dengan sudut hingga 80 derajat.
Selain itu, terdapat turunan dengan sudut hingga 30 derajat. Lintasan yang ada melengkung dan pada musim hujan, banyak terdapat genangan air. Terdapat pula dorongan angin samping pada celah antara bukit-bukit.


2. Ukuran tinggi dan besar kendaraan tidak mempengaruhi cara orang mengemudi. Makin tinggi bentuk kendaraan, kualitas kestabilan pada kecepatan tinggi akan berkurang. Makin besar bentuk kendaraan, makin berat kendaraan itu dan akan mempengaruhi momentum inersia kendaraan yang membuat jarak pengereman menjadi panjang.


Berat kendaraan akan mempengaruhi gaya melebar atau menyamping yang terjadi saat menikung. Makin besar kendaraan makan makin besar haluan atau makin besar radius putar kendaraan itu.


3. Jarak pengereman tak dipengaruhi bentuk dan berat kendaraan melainkan sistem pengereman kendaraan itu sendiri. Jarak pengereman ditentukan enam faktor variatif, termasuk kondisi dan perilaku pengemudi, kondisi kendaraan, bobot kendaraan, kecepatan kendaraan, kondisi lintasan serta cuaca.


4. Mayoritas penyebab ban pecah dijalan tol adalah akibat tekanan angin yang berlebih. Tekanan angin berlebih tak membuat ban mudah pecah hanya mempengaruhi traksi ban pada permukaan jalan.


Tekanan angin yang kurang dari rekomendasi pabrik ban akan membuat bahan pada dinding ban mengalami keletihan berat akibat elastisitas ban terlalu ditekan disbanding pada tekanan angin normal.


5. Mengemudi di lintasan menurun di kecepatan tinggi tak ada bedanya dengan mengemudi di lintasan datar. Mengemudi di kecepatan tinggi di lintasan menurun berisiko tinggi kecelakaan. Hal ini dikarenakan terjadinya perubahan pusat gravitasi dan distribusi bobot.


Di kecepatan tinggi, kendali kendaraan menjadi sangat sensitif dan gaya-gaya yang tak diharapkan bisa mudah terjadi. Pada saat kendaraan bergerak tak sesuai keinginan pengemudi, respon pengemudi sering spontan tanpa diawali proses analisa logika dan hal inilah yang mengawali petaka.


  
6. Karena lancar dan tak padat, potensi kecelakaan dijalan tol lebih ringan dibanding dijalan biasa. Risiko kecelakan malah lebih besar. Hal ini dikarenakan lancar membuat pengemudi cenderung memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Alhasil, momentum yang dihasilkan jauh lebih besar dan kendaraan akan sulit dikendalikan.

7. Mengemudi di jalan tol tak memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi disbanding di jalan biasa. Secara umum, kondisi jalan tol lebar, lancar, kecepatan tinggi dan monoton. Terdapat risiko kecelakaan masif dan hal ini butuh konsentrasi lebih dibanding di jalan biasa. Hal ini menyebabkan mudah letih, kewaspadaan menurun, hasrat untuk memacu kecepatan melebihi kemampuan kendaraan dan pengendara akan lebih tinggi.

Sumber - Jelajahunik.us
ngawi cyber.blogspot.com