Dunia Nabi ~ Siang itu, matahari tidak seperti biasanya. Awan kelabu menyelimuti langit. Terik panas sang surya belum juga kunjung datang. Sejak pagi buta, mendung belum juga bergeser dari langit biru. Namun kesibukan masih nampak dipemantang sawah kampung Permai Bekasi. Para petani masih disibukkan dengan pekerjaannya. Kebetulan saat itu musim panen. Wajar, bila penduduk kampung belum juga pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat. Padahal, siang itu adalah hari Jum’at di bulan suci Ramadhan.
Tiba-tiba, kilat datang dan suara guntur menggelegar saling bersahutan. Bunyi yang menakutkan itu ditimpali kumandang adzan, tanda shalat hari Jum’at segera akan dimulai. Mendengar bunyi petir yang dahsyat itu, sebagian petani kembali ke rumahnya masing-masing. Entah sekedar istirahat atau ingin menunaikan shalat Jum’at. Namun ada segelintir orang laki-laki muda yang enggan beranjak dari tempatnya. Mereka lebih memilih menjaga padi sawah.
Alay (25tahun), Udin (18 Tahun) dan Acun (17 tahun), nama-nama pemuda itu yang sengaja kami samarkan. Mereka bertiga adalah teman sepergaulan yang sering terlihat bersama-sama. Menurut Hasan (17 tahun), baik Alay maupun Acun masih saudara sekandung, sementara Udin sendiri termasuk saudara jauh Alay dan Acun. Di antara mereka bertiga, hanya Alay yang sudah menikah dan mempunyai satu orang anak.
Setelah itu, hujan turun dengan derasnya. Terpaksa tiga orang pemuda ini berlindung di sebuah gubuk sawah dari hujan lebat. Di atas gubuk, gemuruh petir menggelegar. Suara petir itu terasa berada di atas kepala mereka. Selang beberapa lama kemudian, hujan pun reda. Namun petir masih menyisa. Kadang berbunyi kadang tidak.
Sementara itu, dari jauh, suara khutbah Jum’at sayup-sayup terdengar. Cuaca dingin setelah hujan rupanya membuat rasa lapar di perut mereka Apalagi suasana dingin itu ditambah semilir angin sawah, keadaan ini semakin membuat perut mereka bergolak-golak kelaparan.
“Cun ada duit nggak?” Tanya Alay memulai perkacapan. “Ada nih Rp. 25.000” jawab Acun, “Sini dah Abang lapar nih mo beli mie” pinta Alay. Acun pun memberikan uang itu seraya berkata “Ayo dah kita makan mie bareng-bareng.” “Ayo!” ujar Udin, setuju. Sejak tadi ia hanya diam saja.
Mereka bangkit dari dalam gubuk tanpa dinding itu. Satu per satu keluar dan berdiri berjajar di depan barak. Mulai dari Acun, Udin, hingga Alay. Namun tiba-tiba saja petir menggelegar dahsyat. Cahaya kilatnya menyembar tanah di dekat mereka. Uniknya, kilat berjalan seperti bola menggelinding sampai ke tempat mereka berdiri. DaaaaaR! Belum, sempat menyelematkan diri, mereka bertiga dihantam kilat itu.
Walhasil, tubuh tiga pemuda itu terpental melayang dan jatuh berpencar-pencar Acun dan Udin mendarat di irigasi-irigasi sawah sejauh lima meter dari tempat kejadian. Beruntung ia hanya pingsan. Kulit mereka lebam membiru dan wajahnya pucat pasi.
Sementara Alay yang berdiri paling belakang, justru sebaliknya. Ia terlontar sejauh sepuluh meter dari lokasi kejadian. Urat nadinya berhenti, kulitnya hangus terbakar. Pakaiannya robek dan compang-camping disana-sini. Sekujur tubuhnya mengeluarkan asap. Mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, asap terus mengepul seperti layaknya orang terbakar.
Tidak berapa lama kemudian, selepas Jum’atan, ada beberapa orang kampung yang kembali ke sawah mengetahuinya. Mereka terkejut dan kaget melihat mayat yang membujur dengan tubuh hangus terbakar itu. Apalagi tubuhnya masih mengeluarkan asap. Secepat mungkin, mereka memberitahu penduduk kampung tentang orang yang tersambar petir. Berita segera menyebar. Orang-orang kampung Permai pun saling berdatangan. Dengan segera, penduduk mengetahui siapa sebenarnya pemuda malang itu.
Dan setelah ditelusuri ternyata, Alay tidak sendirian. Ada dua pemuda lagi yang kena hamtaman petir. Yakni Acun dan Udin yang tersungkur di saluran irigasi-irigasi sawah. Orang-orang pun dengan sigap membawa korban ke pihak keluarga. Orang tua korban menangis dan pingsan melihat anak mereka meninggal secara mengenaskan. Pun dengan istri Alay. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia tidak kuasa melihat mayat suaminya teronggak dibale-bale luar menjadi tontonan penduduk kampung. Memang menurut kepercayaan kampung Permai, bila ada orang yang meninggal mengenaskan, maka jasadnya tidak boleh dibawa masuk dulu untuk beberapa saat. Mereka takut akan membawa malapetaka lagi.
Parahnya lagi, anak mereka yang satunya lagi tengah sekarat. Pasalnya, setelah siuman, badan Acun terasa lemas. Kulitnya masih lebam membiru. Dari mulutnya meluncur kata-kata rintihan.
“Panas...... panas....” teriak Acun, meraung-raung kesakitan. Tangannya senantiasa menepuk-nepuk dada. Ia merasa ulu hati dan seluruh perutnya panas dan nyeri. Begitu pula dengan Udin, meski tidak separah Acun, kedua kakinya keram dan ia merasakan panas pada ulu hatinya.
Waktu itu, karena kampung ini terpencil dan jauh dari dokter, orang-orang kampung pun bahu-membahu mambantunya dengan cara pengobatan tradisonal. Lagi pula para korban tidak mau dibawa ke dokter. Setelah agak membaik dengan suara terpatah-patah, Udin mulai menceritakan peristiwa yang menimpa mereka.
Uniknya lagi menurut keterangan Udin uang di dompet mereka ikut raib juga. Seperti sebuah pepatah, habis jatuh ketiban tangga. Itulah yang dialami mereka.
Konon, rasa sakit yang dialami Acun dan Udin tidak berhenti pada hari itu. Tiga hari setelahnya mereka masih mengeluh panas di sekitar ulu hati. Satu persatu penduduk kampung menengoknya. Ada beberapa orang yang menyarankan untuk dibawa ke dokter, mereka malah menolaknya. Katanya, mereka malu atas kejadian tragis di bulan Ramadhan itu. Apakah sesungguhnya hikmah yang dapat di ambil dari kisah tiga pemuda di atas ?.
Preman Kampung yang Suka Minum-Minum
Almarhum Alay adalah seorang pria yang belum lama menikah. Sebelum menikah, ia termasuk pemuda berandalan. Preman, biasa orang menyebutnya. Pekerjaan sehari-harinya hanya mabuk-mabukan, mencuri dan perbuatan buruk lainnya. Setelah menikah, ia sedikit sadar.
Ia mulai berusaha mencari hidup dengan cara menjadi petani sebagaimana penduduk kampung lainnya. Hal ini, ia lakukan demi istrinya. Namun, meskipun begitu ia tetap melupakan bahwa ada yang lebih berkuasa atas dirinya. Ia sengaja tidak mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah.
Sehari-hari hidupnya sudah melupakan ibadah kepada-Nya. Malah, sebaliknya, terkadang ia masih menenggak botol minuman keras dan yang paling penting peristiwa ini terjadi pada bulan suci Ramadhan. Yakni, bulan dimana segala amal perbuatan yang baik dilipat gandakan. Ia tidak hanya meninggallkan kewajiban shalat tapi juga puasa.
“Waktu itu, tepat hari ke 15 puasa dan hari Jum’at” ungkap Rumadi, salah seorang penduduk kampung Permai.
Begitu pula dengan Acun dan Udin. Di Kampung Permai, kedua pemuda ini kerap dicap preman. Pekerjaannya hanya membuang-buang waktu. Begadang dan nongkrong hampir tiap malam. Kadang mabuk-mabukan, kadang meminta uang kepada orang-orang (malak). Mereka galak terhadap orang-orang yang tidak memberi uang. Bahkan terhadap orang tuanya sendiri, mereka suka melawan dan membentak bila disuruh-suruh. Banyak orang kampung yang tidak suka dengan sikap dan perbuatan mereka.
Namun setelah peristiwa pilu yang menimpa mereka itu. Acun dan Udin menjadi sadar. Hidupnya seratus persen berubah. Mereka kembali di jalan Allah swt. Belakangan mereka rajin beribadah dan tidak mau meninggalkan kewajiban untuk puasa sebagaimana diperintahkan Allah Azza wa Jalla. Lebih dari itu, banyak pula warga kampung yang juga ingat kepada Allah lagi. Mereka yang tadinya tidak berpuasa dan shalat kini mereka mulai sadar bahwa ibadah itu penting.
Si Acun sekarang sudah merantau ke Tangerang, bekerja. Kalo si Udin nyari duit di Ancol. Cuma kita-kita nggak pada tahu tempat mereka tinggal. Jawab Hasan.
Demikianlah peringatan kecil Allah bagi orang yang melanggar perintah-Nya. Sebagaimana dia telah nyatakan dalam sebuah firman dengan jelas dan gamblangnya puasa Ramadhan itu diwajibkan bagi umat Islam, “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah ayat 183).
Ditambah pula, dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa Nabi pernah bersabda, “Barangsiapa yang tidak berpuasa selama satu hari dari bulan Ramadhan tanpa ada rukhsah (alasan keringanan) untuknya maka tidaklah dia dapat menggantinya meskipun dengan berpuasa setahun”.
Semoga kita dapat memetik hikmah dari kisah di atas, Amin Wallahu ‘alam bil shawwab.
Sumber : Majalah Hidayah Penerbit PT. Variasari Malindo
Posting Komentar