Kisah Nyata Penjaga Makam Naik Haji

Kisah Nyata Penjaga Makam Naik Haji ~ Malam, area makam Sunan Gunung Jati, Cirebon, terasa syahdu. Angin berhembus pelan, menambah suasana di makam semakin syahdu. Di tengah suasana syahdu itu Ahmad Efendi yang selama ini dikenal sebagai penjaga makam, melantunkan doa. Ada hajat khusus yang dia panjatkan di lubuk hatinya. Dia berdoa  dengan khusuk dan sepenuh hati.
ilustrasi oleh jogja.tribunnews.com
Setelah menutup doa penjaga makam itu menoleh seraya berdiri. Dia terkejut, ia yang awalnya berdoa sendiri, tiba-tiba di belakangnya ada seorang laki-laki telah mengikutinya berdoa.

“Assalamu ‘alaikum” Sapa orang itu, “Wa’alaikumsalam,” jawab Ahmad. “Maaf. Pak,” kata orang itu lagi. “Tidak apa, alhamdulillah Bapak telah ikut berdoa, “sahut Ahmad, dengan santun.

“Terima kasih,” jawab orang itu, “Tetapi, jika Bapak berkenan, mohon, Bapak mendoakan saya secara khusus.”

Sejenak, Ahmad Efendi termenung. Laki-laki tak dikenal itu kemudian mengajaknya berkenalan. Laki-laki itu mengaku berasal dari Jakarta. Setelah itu, Ahmad Efendi berdoa  secara khusus untuk lelaki itu. Setelah berdoa, laki-laki  itu minta nomor kontak penjaga makam.

Sebagai penjaga makam dan sering dimintai tolong untuk memimpin doa para peziarah. Ahmad Efendi menjalani dengan ikhlas tanpa pamrih dan dilandasi niat ibadah. Tak terkecuali ketika Ahmad Efendi dimintai tolong oleh lelaki tak dikenal itu. Dia pun berdoa secara khusus, dan setelah itu dia melupakannya.

Sosok Ahmad Efendi

Ahmad Efendi, yang lahir di Cirebon pada tahun 1977, ini bisa dikatakan laki-laki yang bersahaja dan murah senyum. Senyum selalu terkulum kepada siapa saja yang masuk ke halaman situs Makam Keramat Istana Sunan Gunung Jati untuk berziarah. Tiap hari, tak sedikit para peziarah yang datang, baik dari dalam kota maupun dari luar kota, bahkan ada yang datang dari luar Jawa.

Sepintas lalu, sebenarnya tak ada yang istimewa dari sosok Ahmad Efendi, ayah dari tiga orang anak ini hanya orang biasa dan secara materi tidak memiliki banyak harta. Tetapi, dia punya harapan dan hasrat kuat, suatu saat, ia ingin pergi ke Tanah Suci, untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima.

Ahmad Efendi dulu bekerja sebagai karyawan di tempat Pelelangan Ikan (TPI) di KUD Mina Waluya Bondet. Meski, saat itu upah yang diterima karyawan TPI tak banyak, dan bahkan tak menentu dan tidak mendapatkan upah, lantaran nelayan mengalami musim paceklik dan tidak ada yang melelangkan ikan di TPI tempatnya bekerja, dia tetap tak kehilangan harapan.

Waktu terus berjalan, sementara itu, masa depan Ahmad Efendi masih tidak menentu. Padahal bulan terus berbilang dan tahun terus berganti. Saat usianya sudah menginjak dewasa, sebagai lelaki normal, dia pun memiliki keinganan  untuk membangun mahligai rumah tangga. Namun keinginan itu harus  dia simpan rapat karena kemampuan materinya belum menjanjikan.

Ahmad Efendi sendiri masih memiliki hubungan darah atau keturunan dari Adipati Keling. Adanya hubungan darah itulah yang membuat Ahmad Efendi merasa terpanggil untuk melanjutkan warisan turun-temurun leluhurnya, sebagai penjaga Makam Kramat  Syekh Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dalam kisah Wali Songo, sebagai Sunan Gunung Jati. Akhirnya Ahmad Efendi memutuskan untuk menjaga dan merawat makam. Tugas sebagai kemit itu dia jalani selama 2  minggu berturut-turut, kemudian setelah 4 bulan berlalu dia akan mendapatkan giliran lagi.

Penghasilan sebagai penjaga makam tentu tidak bisa diandalkan. Tidak bisa dijadikan standar hidup sejahtera, namun karena panggilan jiwa dan warisan leluhur, Ahmad Efendi tetap menjalaninya. Pada tahun 1997, Ahmad Efendi memutuskan untuk menikahi seorang wanita pujaan hatinya guna mengikuti sunnah Rasulullah.

Shalat Malam dan Baca Al-Qur’an

Waktu terus berjalan, hampir sebagian besar waktu Ahmad Efendi dihabiskan di area makam. Ia bertemu dan berkomunikasi dengan para peziarah dari segala penjuru, suku dan ras. Hal itu membuat Ahmad Efendi kian dekat dengan ritual keagamaan. Keinginan untuk bisa pergi haji pun kembali  menggelitik. Tapi apa daya? Secara fisik, mental dan moral, barangkali dia sudah siap. Dia hanya dibenturkan dengan biaya.

Tapi, harapan untuk dapat pergi ke Tanah Suci itu tak pernah pudar. Setiap malam, dia pun selalu bermunajat kepada Allah. Sebab dia tahu harapan itu tipis jika dilihat dari kaca mata manusia. Karena itu, dia mengadukan keinginannya itu kepada Allah. Dia utarakan usai shalat malam.

Di saat orang-orang terlelap tidur, Ahmad Efendi bangun dan berkomunikasi langsung dengan Rabb Azza wa Jalla. Dia mengadukan keinginan untuk bisa pergi ke Tanah Suci, yang dirindukan dan diidam-idamkannya. Ahmad Efendi selalu melantunkan surat Al-haj dan surat Ibrahim untuk menyempurnakan doanya pada malam yang sunyi dan kelam.

Akhirnya, Panggilan Itu Datang

Bagi Allah tidak ada yang mustahil. Sesuatu yang tidak mungkin akan jadi mungkin bila Allah menghendaki, Allah akan mengabulkan doa Ahmad Efendi dengan cara yang unik dan tidak disangka-sangka.

Waktu berlalu, suatu hari Ahmad Efendi terkejut karena menerima telepon dari nomor asing yang belum dikenalnya. Setelah diangkat, ternyata dari orang yang mengaku berasal dari Jakarta. Keperluannya tidak lain hanya menyampaikan rasa terima kasih karena berkat doanya semua keingianan orang itu dapat tercapai dan sukses. Bahkan orang yang tidak mau disebutkan namanya itu berjanji akan membalas jasa Ahmad Efendi.

“Bapak, itu semua hanya dari Allah”. Jawab Ahmad Efendi. “Doa saya hanya jembatan. Kalau bapak mau berterima kasih, maka berterima kasihlah kepada Allah”, lanjut Ahmad Efendi dengan rendah hati.

“Dari awal, saya sudah berniat, jika saya sukses nanti akan memberangkatkan  Bapak ke Tanah Suci.”

Deggg! Ahmad Efendi tercekat. Seakan orang tersebut tahu keinginannya yang memang sangat kuat untuk bisa naik haji. Namun, mungkinkah? Ahmad Efendi masih tidak percaya.

“Memang itu cita-cita saya, Bapak. Tapi mana mungkin, kami tidak punya biaya, untuk kebutuhan sehari-hari saja susah,” keluh Ahmad Efendi.

“Insya Allah. Saya akan menanggung semua biaya Bapak berangkat ke Tanah Suci, termasuk keluarga yang ditinggalkan.”

“Bapak tidak bercandakan?” Ahmad Efendi masih ragu. “Insya Allah tidak, Pak, saya akan segera ke Cirebon untuk mengurus segala keperluan Bapak.”

Ahmad Efendi luruh. Dia sujud syukur kepada Allah. Keinginannya yang sangat tidak mungkin tercapai itu ternyata dengan sangat mudah dan dengan cara yang tak disangka-sangka dapat terlaksana. Jika Allah menghendaki, segala yang tidak mungkin bisa jadi mungkin.

Akhirnya, dengan kelompok penerbangan nomor 71 pada tahun 2010, Ahmad Efendi berangkat ke Tanah Suci dalam rangka memenuhi panggilan Allah dan menunaikan rukun Islam yang ke lima, bersama jutaan umat muslim di seluruh dunia, mengumandangkan kalimat takbir, tahlil dan tahmid Maha Besar Allah.

Sumber : Majalah Hidayah Penerbit PT. Variasari Malindo