Kisah Ini Disarikan dari ceramah KH. Zubairi Rahman, Pengasuh Program Keluarga Sakinah – Suara Giri FM
Sebut saja namanya Karta. Ia sudah menikah dengan wanita pilihannya. Wajahnya cantik. Tetapi sayang, hatinya tidak secantik wajahnya. Karta mulai terpengaruh dengan istrinya serta hampir selalu menurutinya. Dari sinilah kisah tragis itu dimulai.
Selain Karta serta istrinya, di rumah itu juga tinggal ibunya. Sebelumnya, Karta bersikap baik pada ibunya. Tapi perlahan, sang istri men-‘cuci otak’-nya.
Suatu hari, sepulang Karta dari tempat kerja, istrinya mengadu. “Mas, ibu itu bagaimana sih. Kerjanya hanya jalan-jalan ke rumah tetangga. Nggak mau bantuin saya. ”
Karta langsung termakan kata-kata sang istri. Dicarinya ibunya.
“Ibu, ibu sukanya ke main ke rumah tetangga ya. Nggak mau mbantu menantu ibu. ”
“Siapa yang bilang begitu. Ibu itu yang ngepel serta nyapu rumah ini, Karta. Ibu yang mencuci. Serta makanan yang anda makan itu, itu juga ibu yang masak. Ibu memang ke rumah tetangga, namun itu hanya sekejap. Untuk istirahat. Bila istirahat siang-siang di rumah ini, ibu bisa dimarahi istrimu…”
Mendengar penjelasan itu, bukannya minta maaf, Karta jadi tidak mempercayainya. “Ah, ibu alasan saja. ”
Hari-hari berikutnya, hubungan pada Karta serta ibunya tidak kunjung membaik. Apalagi hubungan pada ibu dengan istri Karta, semakin memanas. Hingga satu malam, setelah Karta sampai di rumah, sang istri memintanya mengambil keputusan yang begitu sulit.
“Mas, saya sudah tidak betah lagi sama ibu. Saya serta ibu tidak dapat lagi tinggal dalam satu atap. Sekarang Mas pilih, saya yang pergi atau ibu yang keluar dari rumah ini, ” kata istri Karta dengan suara tinggi. Karta bingung. Ia tidak tega mengusir ibunya, namun ia juga tidak sanggup berpisah dari istrinya.
“Kenapa seperti itu Dik. Saya begitu mencintaimu, saya tidak mungkin hidup sendiri tanpamu. Namun ibu, ia tidak punya siapa-siapa. Bila ia pergi, pergi ke mana? Kasihan dia”
“Enggak Mas. Malam ini juga anda mesti putuskan. Ibu yang pergi atau saya yang pergi. ” Luluh juga hati Karta di depan istrinya. Entah syetan apa yang merasukinya, ia juga melangkah ke kamar ibunya.
“Masya Allah, benarkah anda mau mengusir ibu ini, Karta? ” bertanya ibu 1/2 tidak yakin saat mendengar Karta memohonnya pergi dari rumah.
“Iya, Bu. Ini untuk kebaikan rumah tangga kami. ”
“Kamu tega, Karta, ” orang yang namanya dipanggil hanya diam, “kalaupun anda mengusirku, tunggu besuk pagi. Tengah malam begini, ibu mesti ke mana? ”
Karta terdiam. Ia tidak menjawab. Namun keputusannya sudah bulat.
Beberapa waktu lalu, ibu keluar dengan tas di tangannya. Tidak semua barangnya dapat dibawa. Ia melangkah jalan di tengah malam, sembari air mata selalu menetes
membasahi pipinya. Sebagai seseorang ibu, ia sungguh begitu kecewa.
Sakit hatinya. Diusir oleh anak sendiri yang lebih mementingkan istri tidak berakhlak daripada ibunya. Dalam kondisi itu, sang ibu juga berdoa. “Ya Allah, hatiku sakit atas perlakuan ini. Anakku sendiri mengusirku, padahal saya yang mengandung, melahirkan, menyusui serta membesarkannya.
Ya Allah, saya tidak ridho padanya. Saya haramkan semua air susu yang diminumnya sejak bayi hingga membentuknya seperti saat ini. ”
Doa seseorang ibu yang didurhakai, doa di dalam malam, dalam keadaan hujan rintik-rintik, ketiga aspek mustajabnya doa itu bertemu.
Keesokan harinya, Karta merasakan semua badannya sakit. Kulitnya mulai gatal-gatal. Semakin lama, kulitnya seperti melepuh. Hari-hari selanjutnya lepuhan itu mengeluarkan nanah dengan bau yang menyengat. Sampai-sampai, tetangga yang menjenguknya juga tidak berani mendekat. Berbagai usaha medis tidak juga membuatnya membaik. Karta mengerti kalau ini mungkin karena kesalahannya mengusir ibunya sendiri di malam itu.
“Tolong carikan ibuku, saya ingin minta maaf. Sakitku ini karenanya, ” pintanya pada seorang.
“Tidak. Agar Karta rasakan sakit itu. Sakitnya hatiku diusir lebih sakit dari apa yang dirasa Karta, ” jawab sang ibu saat didapati pesuruh Karta, “aku tidak ingin kembali ke rumah itu. ”
Beberapa hari lalu, Karta juga meninggal. Demikian busuknya bau Karta, bebrapa hingga modinsetempat tidak mau memandikannya sendiri. Ia menyewa orang untuk memandikan Karta. Saat meninggalnya Karta nyaris bersamaan dengan meninggalnya orang lain di kampung yang sama. Sehingga tersedialah dua galian untuk memakamkan mereka. Serta baru saja Karta dimakamkan, keributan terjadi.
“Ini seharusnya makam untuk saudara saya, mengapa ditempati, ” kata seorang yang terperanjat lihat galian makam untuk saudaranya sudah terisi.
“Maaf pak, kami tidak tahu. Karena telah terlanjur, sekali lagi kami minta maaf. Mohon almarhum dimakamkan di galian satunya Pak, kan sama-sama makamnya”
“Tidak dapat! Ini telah kita pesan liang lahatnya dekat dengan anggota keluarga yang meninggal sebelumnya. Bila disana kan jadi terpisah.
Kami tidak mau. Mesti dibongkar”
Karena tidak dapat diajak kompromi, akhirnya warga juga mengalah untuk membongkar kembali makam Karta. Anehnya, waktu makamnya dibongkar, mereka mendapati kain kafan Karta sudah berubah warna ; coklat keabu-abuan. Badannya juga terlihat lebih tipis.
Serta begitu di buka, mereka terkejut bukan main. Jenazah Karta berubah warna serta bentuk, seperti hangus terbakar.
Sekian dahsyatnya azab untuk anak yang durhaka pada ibunya. Azab pedih langsung terjadi di dunia serta lebih pedih lagi saat berada di alam barzah.
Sekiranya artikel ini utama bagi pembaca, silahkan di share pada orang-orang tersayang agar lebih berguna untuk orang banyak Mari kita sayangi ibu kita, semoga kita tidak termasuk jadi anak durhaka. Aaminn..
Posting Komentar