Kepepet Utang, Nekat Judi, Dapat 1,8 Miliar

Foto: cong kenek
Ada-ada saja. Gara-gara terlilit hutang jual beli rumah, segala cara pun dipakai. Bahkan, nekat main judi ke luar pulau dengan omset miliaran. Lha kok ndilalah…. Tembus.

                Cong Kenek adalah orang yang dituakan di daerah selatan Lumajang. Umurnya sudah paruh baya dan menguasai ilmu tua. Pantas sajalah kalau banyak orang yang hormat dan tunduk kepadanya. Begitu juga dengan Mat Pi’i, meski dia adalah seorang pemuka agama, bahkan pemimpin pondok pesantren. Cong Kenek selalu dimintai pertimbangan oleh Mat Pi’i. Antara keduanya samasama menghormati satu sama lain. Di awal tahun 2000 lalu, Cong Kenek dimintai tolong oleh Man Kapit soal hutang. Tidak tangung-tanggung, Man Kapit harus membayar hutangnya sebesar Rp 800 juta. Hutang itu dari pembelian rumahnya. Dalam waktu satu minggu kalau tidak segera dibayar, maka rumah itu akan disita. “Piye iki Cong? Aku turu nangdi terus?” adu Man Kapit yang sudah lama mengenal Cong Kenek. Cong Kenek mau tidak mau harus menolong Man Kapit. Hubungan darah kedua orang itulah yang menjadi alasan paling besar Cong Kenek untuk memaksakan dirinya membantu. “Wah, berat iki Pit,” kata Cong Kenek. Man Kapit dijanjikan untuk esok harinya kembali ke rumah Cong Kenek.
                Dia beralasan ingin berpikir dulu untuk mencari solusi paling baik. Seperti dalam setiap persoalan yang dihadapi, Cong Kenek punya cara sendiri untuk mencari ide pemecahan permasalahan. “Sesok mrene maneh ae yo Pit,” katanya. Esok harinya, Man Kapit langsung ke rumah Cong Kenek dengan wajah yang tertekan karena hutang yang begitu besar. Apalagi waktu yang dia punya hanya seminggu saja. “Piye Cong wes nemu carane?” desak Man Kapit. “Ayo melok nang pondoke Mat Pi’i,” ajak Cong Kenek tanpa memberitahukan alasannya. Sesampainya di sana Cong Kenek langsung menemui Mat Pi’i. Dia pun menyampaikan apa masalah yang sedang dihadapinya itu. Tanggapan Mat Pi’i pun hampir sama, “Berat temen iki Cong.” Namun Cong Kenek tidak berhenti pada pemberitahuan masalah itu saja. Cong Kenek sudah mempersiapkan ketika akan bicara ke Mat Pi’i. “Ngene Mat, soal utang iku kan hubungan hablum minan naas,” kata Cong Kenek mengawali. Jelas Mat Pi’i langsung mengkerutkan dahinya. Cong Kenek kemudian bilang setelah hubungan antar manusia selesai baru kewajiban hablum minallah. “Awake dewe nek mati, iseh duwe utang ora oleh dikubur. Iyo kan Mat?” katanya. “Lha terus opo maksute Cong?” balas Mat Pi’i penasaran. Cong Kenek meneruskan. Waktu untuk melunasi hutang itu begitu singkat. Tidak bisa jika mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu semingg, apalagi sehari. “Kecuali judi Mat,” kata Cong Kenek. “Lah lah lah,” Mat Pi’i kaget bukan main. Karena itu jelas dosa besar. Namun Mat Pi’i tidak langsung mengiyakan atau bahkan menolak. Dia terlihat berpikir dari perkataan Cong Kenek yang baru saja dia dengar. Setelah berpikir beberapa saat, Mat Pi’i memberikan syarat kepada Cong Kenek. “Kudu onok modale Cong,” Cong Kenek langsung sumringah. “Beres Mat,” jawabnya tanpa menunggu lama. Man Kapit hanya punya modal Rp 10 juta.

                Sedangkan uang yang dibutuhkan untuk modal judi dan transport itu sampai Rp 20 juta. Kemudian dia ingat dengan salah satu temannya di Bali. Mat Tasan diteleponnya untuk meminjam uang. “Nyilih, paling seminggu tak balekno Mat,” kata Cong Kenek. Cong Kenek pun langsung mendapatkan transferan pada esok harinya. Uang 20 juta sudah berada di tangan. Cong Kenek langsung datang lagi ke pondok pesantrennya Mat Pi’i. “Yowes ayo budal,” kata Mat Pi’i mengajak Cong Kenek dan Man Kapit. Ternyata tiga orang itu pergi ke Batam. Karena waktu pembayaran sudah semakin dekat, mereka pun naik pesawat. Tibalah mereka di Las Vegasnya Indonesia. Sebuah tempat perjudian paling besar se Asia Tenggara. Mereka masuk ke arena perjudian itu bertiga. Dengan membayar uang masuk sebesar Rp 10 juta, mereka bisa mendapatkan fasilitas berupa makan apapun gratis. Tapi Cong Kenek tidak terlalu menghiraukan itu. “Niate awake dewe cuman nggolek duwit,” pesan Mat Pi’i. Entah dengan ilmu apa, Mat Pi’i memenangkan perjudian itu dalam waktu tidak lebih dari dua jam. Bahkan hanya dalam dua jam itu dia mendapatkan uang sebesar Rp 1,8 miliar. “Alhamdulillaaaaah,” kata Cong Kenek. Tidak tergiur dengan kemenangan besar itu, mereka pun langsung pulang. Sampai di pondok pesantren Mat Pi’i, uang itu langsung dibagi. Prioritas utama adalah hutang Man Kapit. Sekitar Rp 1,3 miliar diberikan kepada Man Kapit. “Iki sak bungane. Bayarono. Sisane ojok digae mangan yo,” kata Mat Pi’i. Man Kapit pun senang bukan main. Dia pulang bersama dengan Cong Kenek. Sisa uang sebesar Rp 500 juta diserahkan kepada Cong Kenek. Tapi Cong Kenek malah menolak. “Aku cuman butuh gawe transport ae Mat. Rp 500 ewu ae. Sisane gawe bangun dalan deso kene ae Mat,” katanya. “Yo wes nek ngunu Cong. Aku yo gak pengen duwet haram ngene,” kata Mat Pi’i. Mereka pulang dengan hati yang lega. “Nek ngene kan iso ngibadah karo ati sing tenang,” kata Cong Kenek kemudian pamitan ke Mat Pi’I sambil cekikikan.