Kisah Abbas bin Abdul Muthalib

Dunia Nabi ~ Abbas bin Abdul Muthalib adalah paman Rasulullah. Istrinya dikenal dengan nama Ummu Fadhal. Fadhal adalah nama anak pertama  mereka. Abbas dan ummu Fadhal memiliki anak-anak yang saleh dan pandai. Di antara anaknya yang terkenal adalah Abdullah bin Abbas.   


Rasulullah sangat menyayangi Abbas, tidak mengherankan jika Rasulullah pernah bersabda, “Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakiti Abbas sama dengan menyakitiku.”

Ada dua pendapat yang berbeda tentang keislaman Abbas. Ada yang mengatakan bahwa Abbas memeluk agama Islam setelah penaklukan Khaibar. Namun, ada juga  yang berpendapat bahwa Abbas memeluk agama Islam jauh sebelum peristiwa Perang Badar. Di Mekkah, Abbas banyak memberikan informasi tentang kegiatan kaum musyirikin Quraisy kepada Rasulullah di Madinah. Ia juga memberikan dukungan kepada kaum muslim di Mekkah ketika Rasulullah telah berhijrah ke Madinah.

Pendapat yang menyatakan bahwa Abbas memeluk agama Islam jauh sebelum Perang badar di dukung  oleh keterangan Abu Rafi, pembantu Rasulullah. Abu Rafi menerangkan bahwa  sewaktu ia masih kecil ia pernah menjadi pembantu di rumah Abbas, menurut  Abu Rafi. Abbas  dan Ummu Fadhal telah memeluk agama Islam. Namun di hadapan kaumnya, ia  menyembunyikan keislamannya.

Pada suatu masa, Rasulullah berhijrah ke Madinah, sementara  Abbas tetap tinggal di Mekkah. Sebelum peristiwa  Perang Badar terjadi, Rasulullah mengetahui bahwa Abbas dan keluarganya telah dipaksa untuk ikut berperang. Mereka dipaksa oleh kaum musyrikin untuk berperang melawan tentara muslim.

Oleh karena itu, Rasulullah berpesan, “Barangsiapa di antara kalian yang menjumpai mereka, orang-orang dari bani  Hasyim, janganlah dibunuh. Barangsiapa yang menjumpai Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi saw, janganlah dibunuh karena ia keluar berperang karena terpaksa.” Perkataan Rasulullah telah diketahui oleh para tentara muslim.

Secara umum, mereka menurut perintah Rasulullah saw. Namun ada orang yang menentang perintah itu, yaitu Abu Hudzaifah bin Utbah. Abu Hudzaifah mengatakan  bahwa  bila  dirinya  bertemu Abbas, ia akan tetap mengarahkan senjatanya kepada Abbas. Menurutnya, selama ini mereka telah memerangi bapak mereka, anak mereka, dan saudara-saudara mereka untuk menegakkan agama Allah. Untuk itu, Abu Hudzaifah juga akan memerangi Abbas.

Perkataan Abu Hudzaifah sampai di telinga Rasulullah. Rasulullah sangat kecewa dengan pernyataan Abu Hudzaifah tersebut. Sementara  itu, Abu Hudzaifah sangat menyesal dan bertobat karena telah berucap demikian.

Abbas bin Abdul Muthalib Menjadi Tawanan

Pada suatu masa, peperangan sengit terjadi antara tentara muslim dan kaum musyrikin Quraisy di lembah Badar. Perang ini dikenal dengan Perang Badar dan merupakan perang pertama antara kaum muslim dan kaum musyrikin Quraisy.

Pada Perang Badar itu terdapat beberapa orang dari Bani Hasyim yang dipaksa untuk berperang melawan tentara muslim. Di antara keluarga Bani Hasyim yang ikut berperang melawan tentara muslim adalah Abbas bin Abdul Muthalib dan Aqil bin Abu Thalib (saudara kandung Ali bin Abu Thalib).

Peperangan itu berakhir dengan kemenangan tentara muslim, sekalipun jumlah mereka jauh lebih sedikit. Tentara muslim menawan sekitar tujuh puluh orang tentara Quraisy, di antara mereka yang ditawan terdapat Abbas bin Abdul Muthalib dan Aqil bin Abu Thalib. Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk memperlakukan tawanan dengan baik.

Pada saat itu, para sahabat berbeda pendapat tentang perlakuan terhadap para tawanan. Menurut Abu Bakar, tawanan tersebut merupakan kerabat dan bangsa mereka. Oleh karena itu, tawanan dapat dibebaskan dengan memberikan tebusan.

Menurut Umar, tawanan itu adalah musuh yang menghalangi jalan Allah. Oleh karena itu, mereka seharusnya dibunuh. Akhirnya, Rasulullah mengambil keputusan untuk menukar para tawanan dengan suatu tebusan. Bagi tawanan yang tidak mampu, setiap tawanan harus mengajar sepuluh anak muslim membaca dan menulis. Kaum Quraisy pun menyetujuinya.

Pada suatu pagi, seluruh tawanan dibawa untuk menghadap Rasulullah, mereka ditanya satu persatu oleh Rasulullah. Tiba giliran Abbas yang ditanya, Abbas mengatakan bahwa dirinya adalah seorang muslim yang dipaksa untuk melawan tentara muslim. Rasulullah berkata, “Hanya Allah, Abbas mengatakan bahwa dirinya adalah seorang muslim yang dipaksa untuk melawan tentara muslim. Rasulullah berkata, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui tentang keislamanmu. Namun, engkau adalah seorang tawanan  maka bayarlah tebusanmu itu.” Setelah itu, turun wahyu Surat Al-Anfal ayat 70 yang artinya, “Hai Nabi katakanlah kepada tawanan yang ada di tanganmu, Jika Allah mengetahui ada kebaikkan dalam hatimu, niscaya, Dia  akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah di ambil darimu dan Dia akan mengampuni kamu.’ Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Abbas berhasil membayar tebusan untuk dirinya dan keponakannya. Aqil bin Abu Thalib, setelah beberapa lama, Abbas mendapatkan reziki melebihi jumlah tebusan  yang dibayarkan. Dengan demikian, Allah telah menepati satu janji-Nya, Abbas mengatakan bahwa ia menantikan janji Allah yang lain, yaitu pengampunan untuk dirinya.

Abbas bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab

Pada suatu masa, pemeluk agama Islam di Madinah semakin banyak. Begitu banyaknya kaum muslim di Madinah sehingga Masjid Nabawi tidak mampu  menampung seluruh kaum muslim yang hendak shalat berjamaah. Oleh karena itu, Khalifah Umar bin Khattab berkeinginan untuk memperluas Masjid Nabawi.

Untuk memperluas Masjid Nabawi, Khalifah Umar membeli rumah-rumah yang ada di sekitar masjid. Namun, ada bangunan yang belum dibeli oleh Umar, yaitu rumah milik Abbas. Suatu hari, Umar menemui Abbas. Umar mengungkapkan keinginannya untuk memperluas Masjid Nabawi dan meminta Abbas menjual rumahnya kepada baitul mal. Namun, Abbas tidak mau menjual rumahnya.

Dengan sedikit memaksa, Umar memberikan tiga pilihan kepada Abbas. Pertama, Abbas menjual rumahnya kepada baitul mal. Kedua Umar mengganti rumah Abbas dengan bangunan lain di daerah mana pun sesuai keinginan Abbas dengan menggunakan uang dari Baitul Mal. Ketiga, Abbas memberikannya sebagai sedekah untuk perluasan Masjid Nabawi. Namun, Abbas tidak memilih salah satu pilihan tersebut.

Kemudian, Umar mengusulkan untuk mengangkat seorang penengah. Abbas pun  menunjuk Ubai bin Ka’ab sebagai penengah pada permasalahan tersebut. Kemudian, keduanya mendatangi Ubai bin Ka’ab dan menceritakan permasalahan mereka.

Kemudian, Ubai mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda tentang Nabi Daud yang membangun rumah ibadah. Suatu ketika, Allah swt memerintahkan Nabi Daud untuk membangun rumah tempat orang-orang menyebut nama Allah. Nabi Daud pun merencanakan pembangunan suatu rumah. Perencanaan pembanguan  rumah itu melewati rumah seorang Bani Israel. Oleh karena itu, Nabi Daud menemuinya dan menyatakan hendak membeli rumahnya. Orang Bani Israel itu menolaknya. Nabi Daud sempat berpikir hendak mengambil rumah itu secara paksa. Kemudian, Allah menegur Nabi Daud untuk tidak melakukan pemaksaan. Allah juga memerintahkan Nabi Daud agar membatalkan pembangunan rumah tersebut.

Mendengar kisah Ubai bin Ka’ab, Khalifah Umar menjadi marah dan menyeret Ubai ke Mesjid . Kebetulan saat itu, kaum muslim sedang mengadakan pertemuan di Masjid Nabawi. Di hadapan kaum muslim, Umar berkata, “Apakah di antara kalian ada yang pernah mendengar Rasulullah bersabda tentang perintah Allah kepada Nabi Daud untuk membangun rumah tempat orang menyebut nama-Nya?” Abu Dzar Radhiyallahu, kaum muslim yang hadir juga membenarkan hal tersebut.

Umar pun menyadari bahwa dirinya tidak dapat memaksa seseorang sekalipun untuk kepentingan kaum muslim. Ia berkata kepada Abbas, “Pergilah, Aku tidak akan memaksamu.”. Abbas pun jadi mengetahui bahwa Umar bin Khattab adalah seorang yang patuh terhadap hukum dan ketentuan Dari Allah dan Rasul-Nya. Pada awalnya, Umar memang setengah memaksa Abbas. Namun, hal itu ia lakukan untuk kepentingan umat Islam. Kemudian, Abbas berkata, “Aku akan menyedekahkan rumahku untuk kepentingan kaum muslim. Namun, apabila kamu mengambilnya secara paksa, aku tidak akan membiarkan begitu saja.” Abbas pun menyumbangkan rumahnya untuk memperluas Masjid Nabawi.

Abbas bin Abdul Muthalib Memohon Hujan

Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, kaum muslim mengalami bencana kekeringan yang hebat. Banyak kaum muslim yang mengalami kelaparan. Khalifah Umar bin Khattab meminta kaum muslim yang memiliki kelebihan makanan untuk menyedekahkannya kepada kaum muslim yang  kekurangan makanan.
Saat masa kekeringan semakin lama, kaum muslim pun mengadu kepada Khalifah Umar bin Khattab. Suatu ketika, Ka’ab menemui Khalifah Umar. Ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apabila kaum Bani Israel menghadapi  bencana seperti ini, mereka dan nabi mereka akan meminta hujan.” Mendengar hal itu, Umar berpikir sejenak hingga muncul ide untuk menemui Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah  dan pemimpin Bani Hasyim.

Kemudian, Umar bin Khattab menemui Abbas. Umar mengemukakan kesulitan yang dihadapi kaum muslim saat itu. Selanjutnya, Umar mengajak kaum muslim untuk melaksanakan shalat Istisqa, bersama Abbas.

Setelah shalat selesai dilaksanakan, Umar dan Abbas naik ke mimbar. Umar mengangkat kedua tangannya dan berdoa melalui perentaraan paman Nabi. Kemudian, Umar membaca ayat Al-Qur’an Surat Nuh ayat 10 – 12,  yang artinya “Maka aku katakan kepada mereka, Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya  Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”

Abbas berdoa agar Allah tidak membiarkan kaum muslim tersesat dan putus asa. Hanya kepada Allah mereka mengadu dan hanya  kepada Allah mereka memohon pertolongan melalui perentaraan Abbas bin Abdul Muthalib.

Beberapa saat kemudian, muncul awan menghitam. Hujan pun  turun dengan lebatnya. Allah menurunkan hujan karena kemuliaan Abbas, paman Rasulullah. Bumi yang sebelumnya gersang menjadi subur. Dalam keadaan apa pun, teruslah mengingat Allah. Sungguh, Allah adalah sebaik-baik pelindung  dan sebaik-baik penolong.

Oleh Sugiasih, S.Si.