Tak dapat dipungkiri gizi anak di Indonesia menjadi persoalan yang sangat kompleks. Tidak hanya gizi buruk atau gizi kurang, tapi juga gizi berlebih yang memicu obesitas pada anak.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, kegemukan menimpa 14 persen balita secara nasional. Sebanyak 14,9 persen menimpa penduduk dengan pendapatan tinggi, dan 12,4 persen pada penduduk yang kekurangan secara materi.
"Fakta menunjukan bahwa anak yang kekurangan gizi dan kelebihan gizi berjumlah banyak baik dari keluarga kaya atau miskin. Ini menunjukkan bahwa bukan jumlah asupannya yang salah, tetapi pola makannya yang salah," ujar dr Minarto, MPS, Ketua DPP Persagi dalam seminar 'Gizi Lebih, Ancaman Tersembunyi Masa Depan Anak Indonesia,' Rabu, 20 April 2011.
Jumlah anak yang mengalami obesitas terus mengalami peningkatan setiap tahun. Pada 2007, terdapat 12,2 persen dan pada 2010 menjadi 14,2 persen. Menurut dr Minarto, itu akibat konsumsi pangan yang tak sehat.
Berdasarkan Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan, BKP 2009, konsumsi minyak dan lemak telah melebihi batas maksimal yaitu 114 persen. Konsumsi nasi juga berlebih hingga 118,5 persen. "Inilah yang mengakibatkan anak-anak kita cenderung tumbuh pendek dan gemuk," ditambahkannya.
Dr Rini Sekartini dari Ikatan Dokter Anak Indonesia, menambahkan, obesitas pada anak dapat mengakibatkan dampak negatif bagi fisik dan psikologis. Dampak fisik adalah meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, gangguan tidur, gangguan saraf, resiko diabetes, dan penyakit sendi.
Sedangkan dampak obesitas pada psikologis anak adalah depresi, kepercayaan diri rendah, dan diet berlebih. "Ini terjadi karena anak merasa tidak percaya diri dan berbeda dengan anak lainnya sehingga dia ingin kurus dengan diet yang salah," ujar dr Rini.
Selain itu, adanya stigma bahwa anak dengan obesitas adalah anak yang malas, lamban, dan bodoh sehingga semakin memojokkan anak-anak tersebut. Dampak psikologis ini lebih terjadi pada anak
perempuan.
Menurut dr Saptawati Bardosono dari Departemen Ilmu Gizi KFUI-RSCM, obesitas terjadi karena beberapa faktor yaitu lingkungan, faktor budaya, dan pola hidup.
Anak-anak terbiasa menonton tayangan televisi dengan sergapan iklan camilan tidak sehat. Ini mendorong anak untuk mengonsumsinya. Selain itu, anggapan anak gemuk pertanda sehat juga mendorong kebanyakan ibu memberikan asupan yang berlebihan untuk anak. "Apalagi dulu pemilihan bayi sehat didasarkan pada kegemukan pada anak," ujarnya.
Orangtua pun sangat bertanggung jawab terhadap pola makan anak. Sebab, anak meniru pola hidup dari orangtua dan guru. "Karena itu, mereka harus jadi teladan untuk anak-anak mereka dalam mengatur pola makan dan juga berolahraga," dr Saptawati meambahkan.
Berdasarkan penelitan yang mengamati pola hidup anak, lebih 40 persen anak mengalami kelebihan kalori, dan 80 persen anak mengalami kelebihan protein. Semua ini karena kebiasaan mengonsumsi susu manis secara berlebihan. "Asupan gula pada anak tidak hanya dari laktosa, tetapi juga dari gula tambahan."
Apalagi, ada kebiasaan di masyarakat jika anak rewel tidak ingin makan, orang tua tidak mau repot dengan hanya memberikan anak mereka susu manis. Hal inilah yang mengakibatkan adanya peningkatan jumlah anak dengan obesitas di Indonesia.
Untuk mengatasinya, perhatikan asupan gizi anak. Tidak hanya di rumah dan lingkungan sekitar, tetapi juga di sekolah. Pastikan anak mengonsumsi lebih sedikit asupan energi, namun tetap memperhatikan presentase asupan yaitu karbohidrat 50 persen, Protein 16 persen, dan lemak 34 persen.
Anak pun dianjurkan untuk banyak beraktivitas karena semakin banyak energi yang terbuang semakin banyak pula kalori yang dibuang. Deteksi sejak dini dampak fisik dan psikologis anak, serta perilaku dan emosi anak. Jika anak terdeteksi memiliki risiko obesitas, segera libatkan psikolog. Menghadapi anak harus sabar.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, kegemukan menimpa 14 persen balita secara nasional. Sebanyak 14,9 persen menimpa penduduk dengan pendapatan tinggi, dan 12,4 persen pada penduduk yang kekurangan secara materi.
"Fakta menunjukan bahwa anak yang kekurangan gizi dan kelebihan gizi berjumlah banyak baik dari keluarga kaya atau miskin. Ini menunjukkan bahwa bukan jumlah asupannya yang salah, tetapi pola makannya yang salah," ujar dr Minarto, MPS, Ketua DPP Persagi dalam seminar 'Gizi Lebih, Ancaman Tersembunyi Masa Depan Anak Indonesia,' Rabu, 20 April 2011.
Jumlah anak yang mengalami obesitas terus mengalami peningkatan setiap tahun. Pada 2007, terdapat 12,2 persen dan pada 2010 menjadi 14,2 persen. Menurut dr Minarto, itu akibat konsumsi pangan yang tak sehat.
Berdasarkan Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan, BKP 2009, konsumsi minyak dan lemak telah melebihi batas maksimal yaitu 114 persen. Konsumsi nasi juga berlebih hingga 118,5 persen. "Inilah yang mengakibatkan anak-anak kita cenderung tumbuh pendek dan gemuk," ditambahkannya.
Dr Rini Sekartini dari Ikatan Dokter Anak Indonesia, menambahkan, obesitas pada anak dapat mengakibatkan dampak negatif bagi fisik dan psikologis. Dampak fisik adalah meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, gangguan tidur, gangguan saraf, resiko diabetes, dan penyakit sendi.
Sedangkan dampak obesitas pada psikologis anak adalah depresi, kepercayaan diri rendah, dan diet berlebih. "Ini terjadi karena anak merasa tidak percaya diri dan berbeda dengan anak lainnya sehingga dia ingin kurus dengan diet yang salah," ujar dr Rini.
Selain itu, adanya stigma bahwa anak dengan obesitas adalah anak yang malas, lamban, dan bodoh sehingga semakin memojokkan anak-anak tersebut. Dampak psikologis ini lebih terjadi pada anak
perempuan.
Menurut dr Saptawati Bardosono dari Departemen Ilmu Gizi KFUI-RSCM, obesitas terjadi karena beberapa faktor yaitu lingkungan, faktor budaya, dan pola hidup.
Anak-anak terbiasa menonton tayangan televisi dengan sergapan iklan camilan tidak sehat. Ini mendorong anak untuk mengonsumsinya. Selain itu, anggapan anak gemuk pertanda sehat juga mendorong kebanyakan ibu memberikan asupan yang berlebihan untuk anak. "Apalagi dulu pemilihan bayi sehat didasarkan pada kegemukan pada anak," ujarnya.
Orangtua pun sangat bertanggung jawab terhadap pola makan anak. Sebab, anak meniru pola hidup dari orangtua dan guru. "Karena itu, mereka harus jadi teladan untuk anak-anak mereka dalam mengatur pola makan dan juga berolahraga," dr Saptawati meambahkan.
Berdasarkan penelitan yang mengamati pola hidup anak, lebih 40 persen anak mengalami kelebihan kalori, dan 80 persen anak mengalami kelebihan protein. Semua ini karena kebiasaan mengonsumsi susu manis secara berlebihan. "Asupan gula pada anak tidak hanya dari laktosa, tetapi juga dari gula tambahan."
Apalagi, ada kebiasaan di masyarakat jika anak rewel tidak ingin makan, orang tua tidak mau repot dengan hanya memberikan anak mereka susu manis. Hal inilah yang mengakibatkan adanya peningkatan jumlah anak dengan obesitas di Indonesia.
Untuk mengatasinya, perhatikan asupan gizi anak. Tidak hanya di rumah dan lingkungan sekitar, tetapi juga di sekolah. Pastikan anak mengonsumsi lebih sedikit asupan energi, namun tetap memperhatikan presentase asupan yaitu karbohidrat 50 persen, Protein 16 persen, dan lemak 34 persen.
Anak pun dianjurkan untuk banyak beraktivitas karena semakin banyak energi yang terbuang semakin banyak pula kalori yang dibuang. Deteksi sejak dini dampak fisik dan psikologis anak, serta perilaku dan emosi anak. Jika anak terdeteksi memiliki risiko obesitas, segera libatkan psikolog. Menghadapi anak harus sabar.
Posting Komentar