Kisah Sukses Pramono, Pemilik Warung Makan Ayam Bakar ~ Kisah perjalanan hidup Agus Pramono atau biasa disapa Mas Mono mirip cerita sinetron. Belasan tahun lalu, ketika pria kelahiran Madiun ini mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, ia memulainya dengan menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta. Lalu ia beralih menjadi pedagang ayam bakar di pinggir jalan. Ternyata sukses, kini Pramono sudah menjadi miliarder yang memiliki banyak usaha, siapa yang tidak ngiler ?
Ayah satu orang anak yang akrab di panggil Mas Mono ini buru-buru menambahkan bahwa sukses bisa diraihnya setelah melewati proses yang cukup panjang. Ia meyakini, dalam hidup ini tidak ada sesuatu yang instan. Artinya , kalau ingin sukses mesti lewat perjuangan.
“Orang tidak tahu dan mungkin tidak mau tahu, ketika memulai usaha ini saya harus ke pasar jam tiga dinihari. Jam empat subuh, sudah menyalahkan kompor, ketika kebanyakan orang masih tidur,” ujar Pramono.
Awalnya, suami Nunung ini berjualan ayam bakar di pinggir jalan Soepomo, Jakarta Selatan, persisnya di seberang Universitas Sahid. Di tempat itu, setiap hari kecuali hari libur dia menggelar tenda, bangku dan meja untuk berdagang.
Dengan memakai kaus, celana gombrang dan sandal jepit, dia setia melayani pembeli yang datang dari pagi sampai malam pukul 14.00 sebagian pembelinya adalah mahasiswa dan orang kantoran yang bekerja di wilayah tersebut.
“Tapi yang namanya dagang kaki lima, ada gilirannya. Saya dagang dari pagi sampai siang. Dagangan habis nggak habis saya harus tutup. Lalu, jam 14.00 diganti pedagang lain yang menjual nasi goreng, pecel lele dan seafood,” tutur Pramono sambil memperlihatkan foto lamanya di laptop.
Pria ini yang menamatkan sekolah dengan istilah S3 yaitu, SD, SMP,SMA di madiun ini belakangan akrab dengan laptop karena dia menjadi salah seorang mentor nasional dari Entrepreneur University (EU). Foto-foto lamanya itu menjadi salah satu bahan presentasinya ketika membawakan materi tentang wirausaha.
Menurut Pramono, sejak dulu dia suka fotografi tapi hanya sebatas hobi. Bukan karena dia tahu akan sukses. Jika diamati, foto Pramono saat masih berjualan di pinggir jalan dan saat ditemui, beberapa hari lalu, memang berbeda jauh. Dulu dia terlihat kurus, sekarang tampak macho dan keren.
“Ya, bedalah Mas. Dulu tidak terawat, sekarang terawat. Dulu nggak punya tabungan, sekarang tabungan banyak di bank,” ujarnya sambil menunjukkan tabungannya yang pernah mencapai persis Rp. 1 miliar.
Salah satu kebiasan positif yang dimiliki Pramono dan sangat memberi inspirasi adalah kesenangannya belajar sesuatu yang baru untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Pada tahun 1999, ketika menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta, Pramono selalu memanfaatkan waktu luangnya dengan belajar komputer. Bukan bermain game seperti kebanyakkan orang. Sebab dia, tahu dengan menguasai keterampilan itu karirnya bisa naik dan gajinya juga akan lebih besar.
Pramono benar, karena karirnya terus meningkat hingga akhirnya diangkat menjadi supervisor. Meski jabatannya cukup tinggi tapi dia terus tertantang untuk meningkatkan taraf hidupnya. Cita-citanya Cuma satu, bagaimana caranya lebih membahagiakan orang-orang yang dicintai, keluarga dan orangtuanya.
Akhirnya, tahun 2001 dia keluar dari perusahaan tersebut dan memulai usaha dengan berjualan gorengan keliling di seputar wilayah Pancoran, Jakarta Selatan. Langkahnya rada ekstrem. Sebab, bagi Pramono untuk memulai usaha tidak perlu banyak berpikir, apalagi menghitung rugi laba. Yang terpenting adalah melakukan action.
“Banyak saudara saya yang tidak terima dengan keputusan itu. Apalagi pada awal-awal berdagang, omzetnya baru mencapai Rp.15.000,- sampai Rp. 20.000,- per hari“ ujarnya.
Meski menghadapi banyak tantangan, Pramono tidak mau mundur. Sampai akhirnya dia mendapat lahan kosong diseberang Universitas Sahid. Dengan modal Rp.500.000,- untuk membeli gerobak dan peralatan lainnya, termasuk untuk membeli ayam 5 ekor, Pramono membuka lembar barunya dengan menjual ayam bakar. Namun karena belum mahir mendorong gerobak, sehingga pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir akibat belum mahir mendorong gerobaknya, terpaksa ayam dagangan tersebut harus dibersihkan.
“Kalau orang lain mungkin sudah mikir macam-macam. Wah ini tiada sepi, nggak laku, karena baru mau jalan ayamnya sudah jatuh, sial. Namun kalau saya justru berpikir lain. Wah, ini pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan otak kanan. Selalu optimis dan percaya diri,” tegas Pramono.
Terlepas dari peristiwa itu, beberapa tahun kemudian usaha Ayam Bakar Mas Mono, berkembang pesat. Dia mempunyai 13 cabang dan dalam satu harinya bisa menjual 1.000 ekor ayam. “Sampai sekarang saya merasa seperti mimpi. Kok bisa ya,” kata Pramono.
Sumber : Wartakota
Posting Komentar