Kisahku : Romansa Hikmah Di Malam Minggu

Kisahku Dan Kakek Penjual Amplop | Blog Kang Hamzah - Malam minggu, hmm malam yang ditunggu-tunggu. Sebenarnya, mungkin sama saja dengan malam-malam di hari lainnya. Namun, malam minggu kebanyakan orang, ya bisa dikatakan bisa melepas beban rutinitas kerja.

Begitu juga dengan aku. Ya meski sekedar jajan roti bakar, duduk di sebuah warung kecil dan menikmati jus kesukaanku. Namun, malam minggu kali ini berbeda dan sangat mengesankan bagiku. Karena aku bertemu dengan orang yang sangat istimewa.

Masih teringat jelas di ingatanku malam itu. Bagaimana tidak, lalu lalang manusia beserta riuh suara berbagai kesenangan ibarat malam minggu itu perayaan yang mungkin bisa di dapat hanya seribu tahun sekali, sehingga gelak tawa anak-anak, senyum bahkan tangis rengekan anak kecil yang kemauannya tak dipenuhi orang tuanya melengkapi suasana di malam minggu. Kunikmati suasana itu dengan meneguk segelas jus alpukat dan memasukkan sepotong roti bakar meses keju ke dalam mulutku.

Malam minggu itu datang rintik gerimis membuat aroma bumi menyeruak hadir diantara aroma roti bakar yang baru saja kutelan sepotong.

Namun tiba-tiba ada yang kulihat dari sekian warna manusia terlihat jelas ada sesuatu yang berbeda. Ya berbeda, aku diam sejenak melihat dari kejauhan. Aku terhenyak dan pemandangan itu terasa bagai nada datar memilukan yang tiba-tiba hadir kontras dengan malam minggu yang tampak di mataku.

Seorang bapak yang tak muda lagi berpakaian lusuh dan kumal lengkap dengan sepatunya yang telah menganga lebar. Kuperhatikan bagaimana ia tetap tersenyum karena hardikan dan tolakan dari beberapa orang yang merasa terganggu.

Tangannya menggenggam beberapa lembar amplop. Ya bapak tua itu bukan pengemis. Bapak itu penjaja amplop. Beberapa menit aku tetap terdiam tak bergeming seolah-olah malam minggu itu menyuguhkan sebuah panggung sandiwara yang membuatku terpaku karena  sebuah kisah cerita kehidupan yang diputar langsung didepanku.

Berbagi tentang kisah atua cerita inspiratif yaitu Kisahku Dan Kakek Penjual Amplop, kisah seorang penjual amplop yang tak pernah menyerah
Kakek Penjual Amplop


Suara gerimis itu membuatku makin terhanyut. Bapak tua itu kemudian berdiri dan agak mempercepat jalan mencari emperan toko karena bingung gerimis akan membuat basah amplop-amplop ditangannya.

Segera ku berdiri dan berlari kecil menghampiri bapak tua itu didepan emperan toko yang tutup dipojok plaza. Bapak tua itu terlihat gemetar dan menghitung amplop yang telah di ikat dengan seutas rafia tipis. Tak ku lihat uang digenggamannya, waktu ku tepat berjongkok didepannya dan mulai bertanya

"mbah jualan apa?" Bapak tua itu menjawab "amplop nak, sampean kajenge tuku pa nduk? butuh amplop ta sampean nduk? (kamu mau beli kah nak?lagi butuh amplop kah nak?)
Segera kujawab cepat "nggeh mbah(ya kek)"

Bapak tua itu segera bertanya lagi "tumbas pinten nak (beli berapa nak)? dan kutanya balik "mbah biasanya sadean pinten? (kakek biasanya jualnya berapa?)

"1.000 nak" sambil menyodorkan beberapa amplop yang di ikat bapak tua itu mengatakan padaku kalau seikat itu harganya seribu.

Aku terdiam sejenak. Ternyata hanya 1.000 rupiah. Aku mulai berpikir berapa keuntungannya Ya Allah, tapi bapak tua ini bukan pengemis yang menyerah pada keterbatasan. Betapa istimewanya bapak tua ini daripada aku yang selalu lupa dan sering mengeluh.

Lalu kusodorkan uang kepadanya. Bapak tua itu bilang "uang pas saja nak, bapak tidak punya kembalian. Ku lalu bertanya "mbah sudah makan?". "belum" jawabnya sambil tersenyum padaku.

Sebelum ku teruskan kata-kataku, tiba-tiba saja bapak tua itu berdiri dan berjalan ke toko di seberang dan menukarkan uangku dan kembali membrikan uang kembaliannya padaku. Lagi-lagi, ku kembali terdiam karena kaget ketika bapak tua itu bilang kembaliannya tidak perlu diberikan pada bapak tua itu.

"Saya bukan pengemis nak, saya biasanya tidur di masjid-masjid, saya tidak punya keluarga"

Agak lama, agar bapak itu mau menerimanya. Barulah menerimanya ketika ku bilang agar menganggpku sebagai cucunya.

Itulah kisahku di malam minggu. Lalu aku ucapkan pamit setelah mengobrol beberapa saat dengan bapak penjual amplop itu. Tampak matanya berkaca-kaca begitu juga denganku. Tak terasa air mataku berlinang bercampur dengan gerimis di malam itu. Ku bertemu dengan seorang insan yang tak menyerah pada lapar dan kedaan yang menghimpit. Orang-orang yang keimanannya kuat yang bercangkang lemah pada dzahirnya. Meski berpakaian tak sebagus layaknya pejabat yang berdiri di depan mimbar negara dengan memakai sepatu harga jutaan, merekalah manusia yang tercover lusuh dikeadaanya namun aroma surga menyelimuti akhlaknya karena berpantang meminta-minta. Semoga bermanfaat.

Oleh : Faza Mubaraq