![]() |
| Foto: Cong Kenek |
Menjadi salah satu rombongan yang berkunjung ke Candi Prambanan, ternyata Lumajang tampil dengan gaya khasnya. Suka ngrusak pakem. Kelompok musik gamelan yang biasa melantunkan tembangtembang Jawa dirusak jadi koplo ala Lumajangan.
Kelompok pemberdayaan asal Lumajang masuk ke Candi Prambanan sejak pukul 10.00 pagi. Mereka langsung menguasai hampir seluruh kawasan sekitar Candi Prambanan. “Pokoke sekitar candi kudu dikuasai Majang,” kata Cong Kenek dengan gaya khasnya yang sombong. Mat Pi’i yang sedang berada di sekitar candi juga blusukan keluar masuk setiap candi. Bersama puluhan teman-temannya sejumlah kawasan candi diduduki. “Rek, ojok koyok wong ndeso pok o ayok ojo suwi-suwi. Cepet balik,” ajak Man Kapit. Satu persatu anggota rombongan ngikut Man Kapit me ninggalkan sekitar candi.
Namun, di tengah jalan sebelum pintu keluar candi ada alunan musik gamelan yang membawakan tembang-tembang Jawa. Semua pemusik terlihat sedang khusyuk memainkannya. Termasuk seorang sinden yang sejak pagi tak ada capeknya menyanyikan tembang-tembang Jawa. Cong Kenek tak mau melewatkan momen itu. Tepat di sampingnya sinden bernama Yu Tub, dia duduk disana. Selesai membawakan tembang Jawa, Cong Kenek langsung membisiki Yu Tub. “Yu, njaluk tolong aku ape nyanyi. Lagune asyik kok Yu. Engkok aku nyawer kok. Dadi kudu dibarengi nyanyi,” ungkapnya merayu. Salah seorang pemusik di belakang Yu Tub menyanggupi. Tanpa pikir panjang, sebuah mik langsung diambil Cong Kenek dan langsung berdiri.
”Ayo goyang rek. Lagune Tali Kutang yo Yu,” ujar Cong Kenek. Musik dimainkan, dan Yu Tub membawakan lagu itu berduet dengan Cong Kenek. “Ayo goyang duluuurrr,” ujar Cong Kenek. Mat Tasan, Mat pi’i dan Mat Soleh langsung mendekat. Merekapun turut berjoget di panggung lesehan itu. Man Kapit hanya diberi tugas bagian ambil gambar. Satu tembang, dua tembang sampai lima tembang mereka bawakan. Sesekali Cong Kenek, Mat Tasan dan Mat Pi’i nyawer mulai Rp 10 ribu, Rp 20 ribu, sampai Rp 50 ribu. “Pokoke seneng dulur ayo jogeeet, nyawer gantian rek,” ujarnya. Mulai lagu koplo Banyuwangian sampai koplo dangdut mereka mainkan. “Lek Banyuwangi ojo aneh-aneh mas, konco-koncoku gak iso mainke musike. Soale sik asing,” kata Yu Tub. “Oke Yu tenang Yu,” jelas Cong Kenek. “Pokoke kan nyawer Yu,” kata Mat Tasan.
Tak lama berselang, jogetan yang begitu asyik membuat puluhan pengunjung lain berdatangan. Bahkan, sejumlah turispun juga ikutan berjoget. “Com hier serr, sing-song serr,” ujar Cong Kenek dengan bahasa tah slateh. “Iya serr helep serr hellp iam ser,” tambah Mat Tasan dengan bahasa korat-karit. Tanpa disengaja, ada puluhan turis berdatangan. Mereka tak cuma datang ambil foto, semuanya dipaksa joget oleh Man Kapit untuk gabung dengan rekan-rekannya. Lokasi itupun jadi panggung terbuka yang dirubung banyak pengunjung.
Di sela-sela nyanyi, Yu Tub bertanya pada rombongan Cong Kenek. “Ini bapak-bapak darimana ya?” ujarnya menyapa di sela-sela membawakan lagu. “Kita yang berseragam ini dari Lumajang Yu,” katanya. “Yes, from Lumajang serr,” kata Mat Tasan. “Lumajang mana ya,” kata Yu Tub bertanya. “Lumajang? Where?” kata salah satu turis. “Waduh, Cong, mereka gak tahu Majang,” katanya. Cong Kenek langsung menyahut, dia mengambil mik dan langsung berdiri di barisan depan. “Lumajang is Salim Kancil serr, you know? Panggone Salim Kancil iku loh Yu,” kata Cong Kenek. Mendengar jawaban itu, bukan cuma Yu Tub yang mengerti. Puluhan turis langsung terpingkal-pingkal. “Salim kancil korban pasir? Oh yess i know, iknow,” kata salah satu turis yang mengaku asal Australia itu. Semua pengerubung akhirnya tahu. Bahwa mereka berasal dari Lumajang. Namun hal itu tak mengurungkan niat menyanyi. Semua malah gila menyanyi gak tahu batas waktu. “Cong, wes wayahe buyar iki. Ayo balik,” ajak Man Kapit. “Sik gurung dikon buyar iki Pit,” kata Cong Kenek.. “Yo jelas wedi Cong. Lawong yang mereka kenal Majang iki brutal. Enek tim dua belas pisan. Wes ayo ndang pamit,” katanya.
Ajakan Man Kapit membuat seluruh rombongan baru nyadar. Ternyata merekapun baru tahu bahwa di lokasi sekitar Prambaanan itu hanya untuk mengisi musik-musik gamelan Jawa pengisi suara di seluruh kawasan candi. “Waduh awak dewe iki ngerusak berarti rek,” kata Mat Pi’i. “Yo enggak lah, mereka kan menghargai kita sehingga memberi waktu agar kita tampil,” katanya. “Iyo kepekso rek. Soale keweden krungu kabupaten Lumajang,” sahut Man Kapit yang bikin puluhan temantemannya terpingkal-pingkal.

Posting Komentar