Makna Sarjana, Toga, Dan Wisdom

Makna Sarjana, Toga, Dan Wisdom | Blog Kang Hamzah - Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata Sarjana berarti orang pandai (ahli ilmu pengetahuan) atau gelar strata satu yang dicapai oleh seseorang yang telah menamatkan pendidikan tingkat terakhir di perguruan tinggi. Itu menurut KBBI yan sudah baku dan tertulis rapi dan apik di sebuah kamus. Namun, masih banyak yang belum mengetahui apa itu makna gelar sarjana yang di berikan, toga yang mereka pakai, dan wisdom yag mereka kenakan.

Baca juga : Bahaya Makan Mie Instan Setiap Hari

Kebanyakan alumni atau mahasiswa yang sudah keluar dari perguruan tinggi mengartikan gelar sarjana sebagai penanda bahwa mereka sudah lulus dari bangku perkuliahan. Dan beberapa sahabat Ngawi Cyberjuga ada yang berpendapat bahwa gelar sarjana merupakan salah satu gelar atau titel yang sangat di inginkan oleh setiap mahasiswa yang sudah berada di level atau semester akhir. Ada juga yang berpendapat bahwa gelar sarjana merupakan gelar terakhir di dalam masa pendidikan. Apakah benar? Untuk menjawabnya mari kita artikan satu persatu arti atau makna dari gelar sarjana, toga yang di pakai, dan wisdom yang di kenakan oleh para wisudawan. Dan sampai saat sekarang ane juga masih belum tahu makna yang sebenarnya dari sarjana.

Makna Sarjana, Toga, Dan Wisdom
Toga


Sejarah Sarjana


Kata sarjana berasal dari bahasa Sansekerta yaitu yang mempunyai makna orang yang pandai atau orang yang berilmu. Pada masa itu sarjana bisa dikatakan orang yang ahli dikalangannya. Namun, jaman sekarang sarjana khususnya S1 tidak sedikit yang menjadi pengangguran. Kalau sarjana merupakan orang yang ahli, seharusnya pekerjaanlah yang mencari beliu bukan sebaliknya, beliau yang mencari pekerjaan. Tentu ini dikembalikan lagi kepada masing-masing sarjana itu sendiri.

Sejarah Toga

Berikut sejarah toga yang bersumber dari wikipedia :

Toga dalam bahasa latin adalah tego yang berarti penutup. Meskipun biasanya dikaitkan dengan bangsa Romawi, toga sebenarnya berasal dari semacam jubah yang dikenakan oleh pribumi Italia, yakni bangsa Etruskan yang hidup di Italia sejak 1200 SM. Toga merupakan busana orang-orang Romawi; sehelai mantel wol tebal yang dikenakan setelah mengenakan cawat atau celemek. Toga diyakini sudah ada sejak era Numa Pompilius, Raja Roma yang kedua. Toga ditanggalkan bila pemakainya berada di dalam ruangan, atau bila melakukan pekerjaan berat di ladang, namun toga dianggap sebagai satu-satunya busana yang pantas bila berada di luar ruangan.
Makna Sarjana, Toga, Dan Wisdom
Bentuk Toga Pada Zaman Romawi

Seiring berlalunya waktu, gaya berbusana pun berganti. Bangsa Romawi mengadopsi baju (tunica, atau khiton dalam bahasa Yunani) yang dikenakan orang-orang Yunani dan Etruskan, membuat toga menjadi makin berisi, sehingga lilitannya perlu agak dilonggarkan bila dikenakan. Akibatnya toga menjadi tidak berguna dalam aktivitas-aktivitas yang memerlukan kegesitan, misalnya dalam perang. Oleh karena itu toga digantikan oleh sagum (mantel wol) yang lebih ringan dalam semua kegiatan militer. Di masa-masa damai sekalipun toga akhirnya tergeser oleh laena, lacerna, paenula, dan macam-macam mantel berkancing atau tertutup lainnya. Meskipun demikian, toga tetap menjadi pakaian sidang kekaisaran sejak sekitar tahun 44 SM.

Proses yang telah menggeser toga dari kehidupan sehari-hari itu, juga telah mengangkat derajat toga menjadi pakaian seremonial, sebagaimana yang sering terjadi dalam dunia busana. Toga dapat pula dikenakan untuk menunjukkan jenjang-jenjang kekuasaan.

Sementara itu, topi toga yang kotak yang biasa sarjana kenakan saat wisuda yaitu namanya mortarboard, konon katanya terinspirasi dari biretta, yaitu topi yang biasa di keakan oleh pendeta katholik Roma. Sedangkan biretta itu sendiri hasil modifikasi dari berretto, yaitu topi yang biasa dikenakan oleh akademisi, humanis, seniman romawi pada abad sekitar 12 sampai 14.

Adapun makna talinya yang di pindah dari kiri ke kanan ini katanya berarti bahwa otak kiri yang biasanya di olah oleh sang dosen saat masih kuliah, sekarang begitu lulus seorang sarjana harus bisa dan mampu mengolah otak kanannya dalam bekerja selain sebagai pemikir. Otak kanan yaitu biasanya imajinasi, perasaan, intuisi, kreasi, dan sebagainya.

Setelah sobat blog kang hamzah lulus kuliah ada beberapa lambang atau predikat yang akan diberikan pada diri seorang sarjana. Tapi, apa gunanya lambang atau predikat kalau tidak ada yang mengerti. Kalau menurut ane gelar menjadi seorang sarjana itu berat. Coba sobat pikir, dari sekian banyak SKS yang sudah ane ambil, berapa banyak nilai yang tidak baik atau kurang baik? Walaupun nilai bukan segalanya. Ane coba renungi kembali, ternyata dari sekian banyak mata kuliah yang ane lewati cuma beberapa ilmu yang masuk ke dalam otak. Dan ane yakin sobat semua juga tidak berbeda jauh sama ane. Tapi, walaupun sedikit mudah-mudahan ilmunya bisa bermanfaat buat orang lain.

Kalau  kita pikir-pikir lagi, toga yang sarjana kenakan tidak ada hubungannya dengan kelulusan dan kepandaian seorang sarjana. :) Kalau menurut ane, alangkah baiknya toga di ganti dengan padi. Padi melambangkan bahwa semakin berisi semakin merunduk, rendah hati, tawaddu, dan ramah.

Jadi menurut ane gelar tidaklah begitu penting. Khususnya di jaman sekarang, karena kepandaian dan kepintaran seseorang tidak di ukur dengan gelar ataupun predikat. Orang biasa juga bisa menjadi sarjana asal punya banyak uang untuk membeli ijazah. Gelar dan ijazah hanya digunakan untuk pekerjaan yang hanya untuk memuaskan hawa nafsu dan kbahagiaan semata. Gelar sarjana kini sudah bergeser dari makna aslinya. Sama seperti makna kata "Cantik". Cantik terdahulu dengan cantik yang sekarang sudah berbeda.

Ada banyak sekali jalan untuk menuju keseuksesan seseorang. Walaupun cara dan jalan yang sama tetapi hasinya belum tentu sama. Oleh karenanya, jadilah seorang sarjana yang berguna bagi semua, yang penuh karya dan inovasi untuk masyarakat yang lebih baik. Terima kasih, semoga bermanfaat.